Rabu, 17 Desember 2008

COST-EFFECTIVE SERVICE EXCELLENCE: Memenangkan Hati Pelanggan Pada Masa Krisis

Pada tahun 1954, Peter Drucker menulis pada bukunya The Practice Management: ‘there is only one valid definition of business purpose: to create a customer’. Drucker menjelaskan bahwa perusahaan harus meningkatkan daya saing dan mengembangkan segenap kemampuannya untuk memenangkan pelanggan dari kompetisi, karena pelangganlah pondasi bisnis perusahaan.

Setelah lebih lima dekade berlalu, kompetisi semakin ketat dan global. Banyak cara yang telah dilakukan perusahaan untuk memenangkan pelanggannya. Namun tidak banyak perusahaan yang benar-benar berhasil.

Kalau dicermati, telah terjadi revolusi tren dalam berkompetisi selama ini. Pada era 1980-an dan tahun-tahun sebelumnya dikenal dengan era ‘Profit Optimization Driven’. Era ini adalah era industrial dimana pelanggan merupakan target pasar, orientasi utama adalah keuntungan dan yang dilakukan adalah bagaimana menjual produk sebanyak mungkin. Pada masa ini pelanggan tidak bisa berbuat banyak karena selalu dalam posisi ‘kalah’.

Kemudian terjadilah revolusi dengan masuknya era berikutnya pada tahun 1990-an, era ini dikenal dengan ‘Customer Satisfaction Driven’. Perusahaan berlomba-lomba untuk melayani pelanggannya, karena orientasi utama adalah kepuasan pelanggan.

Salah satu strategi yang diterapkan perusahaan adalah memberikan Pelayanan Prima kepada pelanggannya. Sarah Cook (2002) menunjukkan bahwa perusahaan-perusahaan yang memberikan pelayanan prima mampu tumbuh hampir dua kali lipat dari rata-rata industri dan mereka juga memiliki potensi untuk menaikkan 6% market sharenya. Maka berlomba-lombalah perusahaan memberikan pelayanan prima kepada pelanggannya.

Namun masalah yang tidak disadari perusahaan adalah sering sekali saat pelayanan prima diberikan kepada pelanggan, juga diiringi dengan pengeluaran biaya yang besar pula. Kenapa hal ini terjadi? Karena perusahaan tidak menyadari bahwa telah terjadi pemborosan (waste) dan ketidak-efisienan (inefficient) saat melakukan pelayanan prima. Memberikan pelayanan prima akan relatif lebih mudah jika perusahaan memiliki dana yang memadai. Yang lebih sulit dilakukan adalah memberikan pelayanan prima dengan cara yang efisien dan efektif.

Mengapa hal ini perlu mendapat perhatian utama? Setidaknya karena dua alasan di bawah ini, yaitu:
a. Krisis ekonomi global yang sedang terjadi. Krisis ini memberikan pengaruh yang sangat besar bagi perusahaan, karena dampak langsungnya adalah menurunnya permintaan/konsumsi pelanggan.
b. Suatu perusahaan akan mampu memenangkan persaingan apabila mampu memberikan value bagi pelanggannya. Customer value juga merupakan indikator utama untuk market share (Goke, 1944). Menurut Reidenbach & Goeke (2006), value adalah kombinasi antara quality of product/service, brand/corporate image dan price. Sedangkan Heskett, Sasser dan Schlesinger (2003) mendefinisikan value sebagai berikut:

Kesimpulannya, pelanggan terutama di masa krisis ini akan mencari perusahaan yang bisa memberikan value terbaik bagi mereka. Artinya perusahaan harus mampu memberikan quality (result+process) terbaik dengan harga yang kompetitif.

Untuk mengantisipasi hal ini, perusahaan hendaklah merubah paradigmanya tentang harga, seperti di bawah ini:

Gambar 1. Prinsip Biaya dan Harga

Kemudian komponen biaya dilihat dengan pendekatan ‘cost-plus’:

Sehingga jelas, apabila perusahaan ingin memberikan value bagi pelanggan melalui harga yang kompetitif, cara tercepat adalah dengan menurunkan biaya dengan cara menghilangkan waste (pemborosan). Apakah pemborosan itu? Pemborosan adalah segala sesuatu dalam proses yang tidak memberikan nilai tambah, dimana pelanggan tidak bersedia untuk membayar-nya. Adapun pemborosan bisa dibagi menjadi delapan jenis (untuk bidang jasa):

· Waste of overproduction, misalnya mencetak dan memperbanyak kertas kerja pada saat tidak diperlukan, membeli sesuatu sebelum dibutuhkan, memproses dokumen sebelum orang berikutnya siap, dll.
· Waste of motion, misalnya berjalan dari/ke M/C Foto Copy/Fax, masuk ke kantor/area kerja harus berputar karena akses terganggu, posisi meja & alat kerja tidak ergonomis, kolektor pergi ke alamat yang salah, petugas berulangkali ek tempat pelanggan untuk mendapatkan data yang benar, dll.
· Waste of inventory, misalnya enumpukan dokumen pada tray, penumpukan soft copy yang tidak perlu pada mailbox/computer folder, penumpukan barang inventaris kantor di gudang, dll. · Waste of transportation (material/dokumen bukan orang), misalnya birokrasi/persetujuan yang panjang, perpindahan dokumen dari bagian satu ke yang lain/dari kantor satu ke kantor lain, proses serah terima yang berjenjang (multiple hands-over), dll.
· Waste of waiting, misalnya pelanggan harus antri lama, menunggu persetujuan/approval atasan, tunggu material dari supplier, tunggu dokumen dari pihak ke-3, dll.
· Waste of defects, misalnya perencanaan tidak akurat, informasi tidak akurat, kesalahan dalam input data, kesalahan pencetakan dokumen, computer system error, dll.
· Waste of over-processing, misalnya akivitas yang berulang dalam suatu proses seperti pengetikan ulang, input data berulang kali, penghitungan ulang, transaksi ganda, konfirmasi/verifikasi ulang, berulang kali revisi, dll.
· Waste of underutilized people, misalnya tidak memberikan penugasan yang tepat, distribusi pekerjaan yang tidak seimbang, terhambatnya kreativitas karyawan, potensi karyawan tidak dimanfaatkan, karyawan tidak diberdayakan, dll.

Hal inilah yang mendasari pendekatan Cost-Effective Service Excellence, suatu strategi yang mengintegrasikan diferensiasi melalui pelayanan prima dan cost-leadership.

Cost-Effective Service Excellence ditopang oleh empat elemen utama yaitu:
· Operational Excellence,
· Managing Positive Service Experience
· Rigorous Service Excellence Development
, dan
· Holistic People Development
Keempat elemen ini, juga harus ditunjang oleh pondasi yang kuat yaitu Management Commitment & Support, seperti gambar di bawah ini:

Gambar 2. Cost-Effective Service Excellence model

1) Operational Excellence

Tujuan dari penerapan elemen ini adalah menghasilkan proses yang lebih efisien, pelayanan yang lebih cepat, dengan biaya yang lebih rendah serta kualitas pelayanan yang lebih baik.

Penerapan elemen ini meliputi:

a. Penerapan Lean Service
Menurut Womack dan Jones dalam bukunya Lean Thinking, Lean adalah cara untuk menghasilkan sesuatu makin lama makin banyak dengan upaya makin lama makin sedikit. Makin sedikit artinya, semakin sedikit waktu, area kerja, upaya, mesin, material. Untuk menerapkan Lean Service diperlukan pemahaman yang mendalam tentang Lean Thinking (transformasi terus-menerus dari pemborosan menjadi sesuatu yang bermanfaat bagi pelanggan-Womack&Jones), dengan secara konsisten menggunakan teknik-teknik Lean.

b. Mengoptimalkan SLA dan Service Standard
Pelayanan prima dalam memuaskan pelanggan tidak akan tercapai tanpa peran serta setiap orang/bagian di dalam organisasi. Keterkaitan ini dikenal dengan Rantai Pelayanan (service chain) dengan prinsip ‘next process is your customer’. Disinilah peran dari SLA (service level agreement) dan Service Standard (standard pelayanan), dengan tujuan tercapainya stabilitas/konsistensi pelayanan, sebagai acuan untuk mengukur performance juga perbaikan (continuous improvement) dengan sasaran akhir untuk meningkatkan efisiensi, kinerja dan produktivitas.

2) Managing Positive Service Experience

Meningkatkan efektifitas dalam melayani pelanggan tidak berarti mengurangi kualitasnya. Menurut Ishikawa mutu (quality) sama dengan kepuasan pelanggan. Mengimplementasikan Cost-Effective Service Excellence juga selalu melihat berdasarkan value dari mata pelanggan. Kemudian mutu baik produk/jasa juga harus disampaikan dengan cara yang juga bermutu sehingga tercipta pengalaman yang positif setiap pelanggan berinteraksi dengan perusahaan. Pengalaman positif tersebut haruslah dikelola pada tiga tahapan utama yaitu Pre Delivery – During Delivery – Post Delivery, yang tercermin dari sisi Product-Process-People.

3) Rigorous Service Excellence Development

Agar perusahaan mampu memenuhi harapan pelanggan yang terus naik serta kompetisi yang semakin ketat maka perusahaan mau tidak mau harus melakukan continuous improvement & innovation. Untuk itu perlu disiapkan:
· Sistem mekanisme umpan balik yang ekstensif, dengan cara mengelola suara-suara pelanggan dari jalur-jalur komplain yang ada. Hal lain adalah melakukan benchmark terhadap kompetitor atau perusahaan lain yang mampu memberikan pelayanan prima terbaik di kelasnya.
· Umpan balik juga diharapkan bisa timbul dari internal yaitu para karyawan, karena merekalah pemilik proses yang setiap hari berada di lapangan. Untuk itu perlu dikembangkan sikap dan kemampuan karyawan yang jeli melihat masalah atau potensi timbulnya masalah. Lebih jauh lagi karyawan juga diharapkan agar mampu memberikan ide-ide yang kreatif dan inovatif untuk memecahkan permasalahan yang dihadapi di lapangan. Untuk itu perusahaan harus mempersiapkan sistem dan sarana untuk menampung suara-suara karyawan ini.
· Agar karyawan mampu menggerakkan roda improvement dan inovasi maka mereka perlu dibekali dengan pemahaman yang mendalam tentang improvement dan inovasi, serta keterampilan yang memadai untuk menggunakan teknik-teknik improvement dan inovasi.

4) Holistic People Development

Dua elemen sebelumnya tidak lepas dari elemen ketiga yaitu bagaimana mempersiapkan para karyawan yang tidak hanya mampu juga mau menjalankan tugasnya dengan komitmen tinggi guna menunjang implementasi Cost-Effective Service Excellence.

Untuk itu perlu disiapkan suatu system pengembangan yang menyeluruh bagi karyawan. Diantaranya adalah dengan melakukan training seputar pelayanan prima, lean, improvement dan inovasi. Namun tidak cukup sekedar training, para karyawan pada periode yang ditentukan juga harus dibekali dengan coaching yang dilakukan oleh atasan masing-masing. Disinilah peran atasan dituntut agar mampu mengembangkan bawahannya. Terutama saat karyawan menghadapi masalah katika mereka mulai menerapkan di lapangan.

Hal terpenting lainnya yang harus dipikirkan adalah bagaimana menjaga agar karyawan secara konsisten melakukan di lapangan. Untuk itu karyawan harus diberdayakan oleh masing-masing atasan. Juga dari sisi manajemen perlu menyiapkan suatu system pengakuan dan penghargaan bagi mereka-mereka yang telah melakukan dengan baik, agar motivasinya tetap terjaga.

Sebagai kesimpulan, Cost-Effective Service Excellence akan tercapai dengan mengimplementasikan empat elemen utama yaitu operational excellence, managing positive service experience, rigorous service excellence development dan holistic people development. Namun semuanya tidak akan berhasil tanpa adanya dukungan dan komitmen dari semua pihak diperusahaan, terutama sekali dukungan dan komitmen penuh dari manajemen puncak perusahaan.

“Cost-effective service excellence is the way of doing business, it’s a journey, the endurance race without finish line”



Mahyudanil Lubis

Selasa, 16 Desember 2008

SERVICE EXCELLENCE STRATEGY: LANGKAH AWAL IMPLEMENTASI PELAYANAN PRIMA

Banyak perusahaan yang mencoba mengimplementasi Service Excellence (Pelayanan Prima) namun gagal. Padahal perusahaan telah mengeluarkan biaya, waktu dan tenaga yang tidak sedikit untuk melakukan pelatihan pelayanan prima bagi karyawannya. Apa masalahnya?

Ternyata sekedar pelatihan bagi karyawan bukanlah jawaban satu-satunya. Karena keramahan dan sopan santun dalam melayani tidaklah cukup untuk memenangkan hati pelanggan.

Service Excellence tentu tidak cukup hanya menjadi sebuah paradigma dan keterampilan para garda depan dalam melayani pelanggan, tetapi membutuhkan kesungguhan, kemantapan hati dan komitmen tinggi dari setiap bagian di organisasi khususnya manajemen puncak. Service Excellence juga harus diturunkan menjadi suatu langkah terstruktur yang diimplementasikan di setiap fungsi di perusahaan.

Untuk mencapai sasaran tersebut, perusahaan harus mengelola sejumlah elemen penting dalam implementasi Service Excellence (SE) di perusahaan yakni:
· Strategi Pelayanan (SE Strategy)
· Standar dan Pengukuran Pelayanan dan Tolak Ukur-nya (SE Standard and Measurements)
· Pelatihan dan Bimbingan dalam Pelayanan (SE Training and Coaching)
· Otorisasi/Pemberdayaan Staf dalam Pelayanan (SE Authority/Empowerment)
· Mengukur Kinerja Pelayanan Eksternal/Internal (SE Feedback), serta
· Pengakuan dan Penghargaan terhadap pencapaian Sasaran Pelayanan (SE Reward and Recognition)

Langkah awal dari implementasi pelayanan prima ini membutuhkan komitmen dari pimpinan puncak di perusahaan, dimana mereka harus menyusun strategi pelayanan yang hasil akhirnya dikenal dengan Service Strategic Intent (SSI), yaitu “pernyataan perusahaan secara spesifik mengenai apa yang akan diberikan kepada pelanggan yang mencerminkan keunikan dan kemampuan perusahaan”.

Strategi pelayanan (SSI) dikembangkan dari irisan tiga faktor, yaitu:
1. Desired outcomes. Pelayanan apa yang ingin diberikan perusahaan kepada pelanggan
2. Customer expectation. Ekspektasi/harapan pelanggan terhadap produk/jasa perusahaan
3. Process capability. Kemampuan perusahaan untuk memenuhi harapan pelanggan


1. DESIRED OUTCOMES
Ada dua pertanyaan yang harus dijawab dalam lingkaran yang pertama ini:

a. Apa prioritas strategis untuk pelayanan pelanggan di perusahaan?

Pelayanan pelanggan (customer service) penting di setiap organisasi, namun tidak selalu penting secara strategis. Pelayanan tingkat tinggi kenyataannya membutuhkan daya dan dana ekstra. Pelayanan buruk tidak layak diberikan kepada pelanggan. Lalu, ingin sejauh mana tingkat pelayanan kita?

Untuk menjawab pertanyaan ini, dapat dilakukan dua jenis analisa, yakni:

a.1. Absolute importance analysis
Pada analisa ini, kita harus membandingkan seberapa besar keunggulan kompetitif perusahaan kita (khususnya pelayanan) di mata pelanggan dibandingkan dengan kompetitor saat ini. Jawabannya akan menunjukkan seberapa penting perusahaan kita nantinya untuk menempatkan pelayanan sebagai keunggulan kompetitif dan daya saing terhadap kompetitor.

Skala dengan nilai Strategic Importance tinggi berarti:
· Pelanggan perusahaan kita dapat dengan mudah memilih yang lain
· Produk perusahaan kita tidak berbeda di mata pelanggan
· Perusahaan kita telah mengembangkan tempat di pasar berdasarkan jenis pelayanan yang kita berikan

Sedangkan skala dengan nilai Strategic Importance rendah berarti:
· Perusahaan kita adalah monopoli, atau perusahaan kita telah mengunci pelanggan dalam cara yang memperkenankan perusahaan kita untuk berperilaku seperti monopoli
· Produk yang ditawarkan memiliki brand yang kuat dimana pelanggan akan berjuang keras untuk mendapatkannya
· Perusahaan kita telah mengembangkan hubungan yang kuat dengan para pelanggan kunci

a.2. Relative importance analysis
Tentukan sejumlah fungsi kunci di organisasi. Urutkan berdasarkan tingkat kepentingannya terhadap sukses organisasi, relatif dengan yang lain. Kemudian ajukan pertanyaan: “Di urutan keberapa fungsi SERVICE (pelayanan) berada?”


b. Dimana perusahaan perlu memposisikan diri, relatif terhadap kompetitor/peer group?

Ini merupakan pilihan yang relatif, karena tergantung bagaimana kita ingin menempatkan diri dibandingkan dengan kompetitor. Ada tida pilihan yang bisa dipilih:

b.1. Competitive
· Dalam level ini, kita mencoba untuk membuat pernyataan mengenai organisasi kita melalui pelayanan yang diberikan
· Perusahaan kita menginvestasikan waktu, upaya dan dana untuk memberikan tingkat pelayanan yang berbeda dan nampak jelas
· Pelayanan merupakan hal yang vital bagi bisnis perusahaan kita

b.2. Comparative
· Dalam level ini, kita mengarahkan kepada penetapan pelayanan yang kurang lebih sama dengan para pemain kunci lainnya
· Dengan kata lain, menyamakan level dengan pesaing atau sektor terdekat
· Level pelayanan ini tetap tinggi, namun tidak lebih tinggi dari yang diperlukan

b.3. Compliance
· Dalam level ini Anda memberikan pelayanan dalam batas minimum (kalaupun melebihi, hanya sedikit sekali)
· Level dimana beberapa komplain kemungkinan akan muncul, akibat tidak tercapainya kepuasan pelanggan Anda
· Perlunya usaha keras untuk menyetarakan ekspektasi pelanggan dengan tingkat pelayanan

Kemudian dari kedua analisis tersebut, diambil kesimpulan tentang apa yang ingin diberikan perusahaan terhadap pelanggan (desired outcomes).


2. CUSTOMER EXPECTATIONS
Ada dua pertanyaan yang harus dijawab dalam lingkaran yang kedua ini:

a. Apa yang diharapkan pelanggan (di setiap segmen), dan apa yang dilakukan oleh para pesaing (di setiap segmen tersebut)?

Langkah-langkah yang dilakukan:
· Membagi pelanggan berdasarkan segmen-nya
· Me-list sejumlah harapan pada masing-masing segmen yang telah ditentukan, berdasarkan elemen service (Product, People, System)
· Mengidentifikasi performansi perusahaan (termasuk pesaing) di setiap harapan dan di setiap segmen tersebut (current performance)
· Memutuskan bagaimana seharusnya performansi perusahaan untuk memenuhi harapan pelanggan (to be performance)

Agar segmentasi pelanggan yang ditentukan pada langkah pertama di atas tepat, sebaiknya memenuhi karakteristik sebagai berikut:
· Actionable (dapat melakukan sesuatu yang berbeda untuk setiap segmen)
· Sustainable (setiap segmen tidak bersifat sementara)
· Simple (tiap segmen tidak sulit untuk didefinisikan, dapat dibedakan karakteristiknya)
· Explanatory (tiap segmen menjelaskan sesuatu tentang perilaku pelanggan)

Beberapa pertanyaan yang bisa membantu agar lebih tajam dalam menentukan segmentasi pelanggan kita, sebagai berikut:
· Dapatkah kita mengidentifikasi tipe pelanggan di setiap segmen dengan menggunakan demografi (umur, gender, pendapatan, dll.) atau geografis?
· Apakah pelanggan dapat dikelompokkan dari jenis atau skala organisasi?
· Dapatkah pelanggan dibedakan berdasar bagaimana mereka mengaplikasikan/ memanfaatkan produk/jasa perusahaan kita?
· Apakah sensitivitas harga menjadi cara kunci untuk kategorisasi?
· Bagaimana kemungkinan berkomunikasi kepada setiap segmen pelanggan?
· Apakah kita akan memodifikasikan penawaran kita agar menarik untuk setiap pelanggan?


b. Apa saja pengaruh lain yang dapat membentuk/merubah harapan pelanggan di setiap segmen tersebut?

Untuk menjawab pertanyaan ini, kita melakukan analisis SWOT terhadap apa yang selama ini telah menjadi kekuatan dan kelemahan kita dalam pelayanan, serta melihat berbagai peluang untuk dapat memberikan yang lebih/berbeda di mata pelanggan, sekaligus ancaman datangnya pesaing baru, atau pesaing lama dengan strategi baru.

Kemudian dua informasi di atas digabungkan menjadi kesimpulan untuk lingkaran kedua (customer expectations).



3. PROCESS CAPABILITY
Pertanyaan yang harus dijawab dalam lingkaran ketiga ini adalah:

· Bagaimana proses-proses kunci mensupport keinginan perusahaan untuk memenuhi harapan pelanggan?

Dengan mengidentifikasi 3-5 proses kunci yang ada di setiap segmen pelanggan, masing-masing proses kunci tersebut dilihat kapabilitasnya dalam mensupport perusahaan (melalui produk dan orangnya) dalam memenuhi harapan-harapan pelanggan yang telah teridentifikasi sebelumnya.

Adapun kapabilitas dari proses bisa mencakup tiga pilihan:
· HIGH (H):
Kapabilitas dari proses tinggi untuk memenuhi harapan/ekspektasi pelanggan, secara tepat dan akurat
· MODERATE (M):
Kapabilitas dari proses sedang untuk memenuhi harapan/ekspektasi pelanggan, secara tepat dan akurat
· POOR (P) :
Kapabilitas dari proses rendah untuk memenuhi harapan/ekspektasi pelanggan, secara tepat dan akurat

Seluruh informasi dari ketiga lingkaran tersebut telah menggambarkan seperti apa pelayanan yang ingin diberikan perusahaan untuk memenuhi harapan-harapan pelanggan, dimana dapur perusahaan mampu mendukung pemenuhannya.

Jadi langkah selanjutnya adalah menyimpulkan apa yang akan menjadi strategi pelayanan perusahaan yang kemudian dituangkan ke dalam Service Strategic Intent (SSI). Setelah tahap ini selesai, berarti perusahaan telah siap untuk masuk kelangkah selanjutnya dalam mengimplementasikan Pelayanan Prima.


Mahyudanil Lubis
Referensi: The Customer Service Workbook. Naville Lake and Kirstin Hickey. 2002

Senin, 15 Desember 2008

KARYAWAN YANG ”BERDAYA” (EMPOWERED) PONDASI PELAYANAN PRIMA

Pemberdayaan (empowerment) karyawan khususnya para garda depan merupakan pondasi bagi perusahaan yang ingin menjadi ”service leader”. Karena hanya dengan perusahaan yang memiliki karyawan yang ber-’daya’-lah, yang mampu memberikan pelayanan prima kepada pelanggan-nya.

John Tschohl, pendiri dan presiden Service Quality Institute di Minneapolis, mengatakan bahwa pemberdayaan merupakan keterampilan yang paling kritikal dari seorang karyawan dalam pelayanan pelanggan dimana karyawan dapat menggunakan atau tidak mengindahkan aturan dan kebijakan perusahaan guna memuaskan pelanggan. Sedangkan Jan Carlzon, mantan CEO dari SAS Scandinavian Airlines, mendefinisikan pemberdayaan adalah memberikan kebebasan kepada karyawan dari kontrol yang berlebihan dan memberikan kebebasan kepada mereka untuk bertanggung jawab terhadap ide, keputusan dan tindakannya.

Secara umum Pemberdayaan (empowerment) adalah memberikan karyawan pekerjaan dan kebebasan yang dibutuhkan untuk menggunakan kreativitas dan pertimbangan mereka dalam menghadapi masalah pelanggan tanpa harus meminta petunjuk/ijin atasan/orang lain secara berlebihan. Pemberdayaan berarti memberikan karyawan 3 Well’s: Well INFORMED, Well EQUIPPED, Well AUTHORIZED.

Pemberdayaan adalah salah satu bentuk pendekatan untuk menumbuhkan kepedulian karyawan terhadap pelayanan secara mendasar. Karyawan yang punya rasa tanggung jawab dalam melayani pelanggan akan mampu memberikan pelayanan yang prima. Namun sayang sekali kepedulian dan rasa tanggung jawab ini tidak selalu muncul di setiap organisasi karena karyawan tidak merasa puas dengan kondisi pekerjaannya. Beberapa survei mengungkap bahwa karyawan akan merasa puas terhadap pekerjaannya apabila mereka merasa ”bernilai” dan dianggap penting serta terlibat dalam bisnis. Survei dari MORI terhadap lebih dari 1000 karyawan dari beberapa perusahaan, menunjukan bahwa dua-pertiganya merasa tidak ”dianggap’ (undervalued). Hanya satu dari sepuluh orang yang merasa mereka bernilai, dan hanya satu dari empat orang yang secara aktif berkomitmen membantu sukses perusahaan.

Penelitian yang dilakukan oleh The Involvement and Participation Association terhadap perusahaan-perusahan yang sukses, menunjukkan bahwa peningkatan keterlibatan karyawan memberikan kontribusi terhadap peningkatan keuntungan perusahaan antara 10 sampai dengan 30 persen dalam satu tahun. Kenapa perusahaan yang menerapkan pemberdayaan karyawan berhasil? Hal ini karena pelanggan melihat mereka akan mendapatkan manfaat seperti:
• perusahaan tidak birokratis,
• perusahaan lebih fleksibel,
• perusahaan lebih responsif,
• perusahaan lebih mempertimbangkan kebutuhan dan harapan pelanggan, serta,
• lebih mudah dalam berbisnis.

Sarah Cook (2002), mengatakan akan sangat berguna untuk melihat pemberdayaan berjalan seperti spektrum seperti di bawah ini:

Level – 1:
Karyawan digugah untuk mengambil keputusannya sendiri dan terlibat dalam membuat inisiatif improvement. Namun, manajer yang tetap memutuskan dan melakukan control secara menyeluruh. Di FedEx, para call center agent mengikuti pelatihan selama enam minggu sebelum terjun ke lapangan, dalam training mereka mendapatkan kebebasan untuk memutuskan dalam penyelesaian komplain pelanggan sampai senilai 200 dollar.

Level – 2:
Tim dan individu lebih terlibat dalam pengambilan keputusan yang berdampak terhadap pekerjaannya namun keputusan strategis masih ditangan manajemen. Oriental Hotel di Bangkok telah menang sebanyak 10 kali sebagai hotel terbaik di dunia. General Manager-nya memberikan otoritas kepada seluruh karyawan untuk mengatakan “ya” terhadap seluruh permintaan pelanggannya. Mereka hanya menghadap manajer-nya saat mereka akan mengatakan “tidak”.

Level – 3:
Tim dan individu secara penuh mengelola sendiri dan membuat keputusan yang ruang lingkupnya tidak sekedar pekerjaan. Di Nordstorm, department store terbesar di US, menyampaikan pernyataan di bawah ini kepada seluruh karyawan barunya:
“Rule # 1: Use your good judgement in all situations.
There are no additional rules.”

Namun perlu juga disadari bahwa pelaksanaan pemberdayaan tidaklah semudah yang dibayangkan. Beberapa penghambat pemberdayaan:
• Struktur organisasi yang menghalangi orang untuk berbuat/bertindak
• Perilaku atasan tidak menghargai tindakan/ perbuatan pelayanan demi kepuasan pelanggan
• Kebijakan kepersonaliaan dan sistem informasi yang membuat orang sulit/serba tidak tahu untuk berbuat/bertindak
• Kurangnya kemampuan untuk mengambil keputusan untuk berbuat/bertindak

Lebih lanjut John Tschohl (2006) menemukan ada empat hal yang mengakibatkan 99,9% perusahaan di seluruh dunia tidak mampu memberikan pelayanan yang prima bagi pelanggannya, yaitu:
• Manajemen tidak percaya kepada pelanggannya, mereka menganggap pelanggan itu pembohong dan curang sehingga kalau diberikan kesempatan akan merugikan perusahaan. Sehingga untuk mencegah hal itu manajemen membuat aturan, kebijakan serta prosedur yang berbelit-belit serta menyulitkan karena tidak berpihak kepada pelanggan.
• Manajemen tidak percaya kepada karyawannya, mereka tidak memiliki keyakinan terhadap karyawannya. Manajemen menganggap para garda depan belumlah dapat dipercaya untuk mengambil keputusan yang baik dalam menangani masalah pelanggan.
• Manajemen takut memberdayakan karyawannya, karena mereka takut kalau karyawan diberikan otoritas dan ber’daya’ mengambil keputusan maka peran manajemen di perusahaan akan berkurang bahkan hilang.
• Karyawan takut akan pemberdayaan, menjadi karyawan yang ber’daya’ dan mengambil keputusan itu mengandung resiko. Sehingga mereka takut kalau salah mengambil keputusan yang salah maka mereka akan diberikan sanksi atau malah dipecat dari jabatannya.

Untuk itu perlu kiranya dibangun suatu lingkungan yang mendukung terjadinya pemberdayaan ini. Neville Lake dan Kristin Hickey (2002) menyimpulkan bahwa ada enam hal yang akan menunjang terlaksananya pemberdayaan karyawan dengan baik, yaitu:

a. Strategi pelayanan (service strategic intent) yang jelas/fokus kepada pelanggan.
Sebelum perusahaan meletakkan pemberdayaan sebagai bagian dari strategi pelayanan pelanggan, maka perusahaan harus jelas betul tentang pengalaman (experience) seperti apa yang akan diterima pelanggan dari perusahaan. Perusahaan haruslah mampu merumuskan strategi pelayanannya (SSI – Service Strategic Intent) dengan baik sehingga jelas pelayanan apa yang ingin diberikan kepada pelanggan yang berbeda dengan kompetitor namun masih mampu dilaksanakan ditinjau dari kemampuan dapur perusahaan.

b. Budaya/nilai perusahaan yang mendukung
Perusahaan perlu melakukan pengukuran sejauh mana budaya/nilai perusahaan mampu mendukung pemberdayaan. Hal tersebut bisa dilihat dari dua karakteristik utama yaitu: ketakutan (fear) dan kebebasan (freedom). ‘ketakutan’ (fear) menunjukkan tingkat ketakutan para karyawan untuk melakukan perubahan, mengungkapkan ide, mengambil keputusan yang berbeda dengan manajemen. Sedangkan ‘kebebasan’ (freedom) menunjukkan tingkat kebebasan karyawan yang diberikan oleh manajemen untuk bertanggung jawab, mengungkapkan ide serta mengambil keputusan. Hubungan dua karakteristik ini dapat dilihat dalam fear-freedom culture analysis matrix yang membentuk empat kuadran.


c. Adanya ukuran terhadap kepuasan pelanggan
Pemberdayaan mengandung resiko, seperti: kemungkinan terjadinya ketidak-konsistenan, kecenderungan terjadinya kesalahan atau kemungkinan terjadinya biaya yang muncul. Dan timbal baliknya adalah terjadinya peningkatan kepuasan pelanggan. Untuk itu perusahaan haruslah memiliki ukuran terhadap kepuasan yang baik dan mampu mengukurnya. Karena kalau terjadi ketidak-konsistenan, kesalahan dan biaya namun tidak terjadi peningkatan kepuasan pelanggan – artinya pemberdayaan yang dilakukan belumlah terlaksana dengan baik.

d. Contoh-contoh nyata/hidup dari para atasan
Biasanya kita belajar dari melihat sebelum belajar melakukannya. Untuk itu perlu contoh nyata dari atasan dan meberikan penghargaan bagi karyawan yang telah mengambil keputusan yang baik dalam menangani masalah pelanggan.

e. Orang-orang yang ‘terpanggil’ untuk melayani
Mungkin sebagian besar para garda depan ‘mampu’ melayani, namun rasanya hanya sedikit yang ‘mau’ melayani pelanggan. Tanpa adanya karyawan yang ‘terpanggil’ untuk melayani, pemberdayaan sulit terlaksana. Dan untuk membuat the right people at the right place, haruslah manajemeni dengan baik mulai dari proses seleksi, penempatan, pengembangan sampai evaluasi kinerja karyawan.

f. Pelatihan dan pengembangan yang kontinu
Pelatihan dan pengembangan karyawan perlu dilakukan dengan alasan:
• Adanya gap kompetensi (pengetahuan, keterampilan, dan sikap/perilaku) dalam melayani pelanggan eksternal maupun internal
• Pelaksanaan standar pelayanan yang belum konsisten dan merata
• Perlunya percepatan perubahan yang sifatnya meluas (massive) khususnya dalam melayani pelanggan
Pelatihan dan pengembangan yang dilakukan tentunya tidak sekedar hanya terlaksana sesuai jadwal yang telah ditetapkan namun perlu dievaluasi apakah memang terjadi perubahan perilaku di tempat kerja sampai apakah terjadi dampak terhadap peningkatan kepuasan pelanggan yang akhirnya memberikan keutungan secara finansial kepada perusahaan.

Apabila lingkungan telah mendukung maka akan tercipta kondisi ber’daya’, seperti:
• Karyawan bekerja dalam iklim kerja yang mendorong untuk mengungkapkan masalah secara jujur dan terbuka
• Karyawan tahu kapan dan kepada siapa meminta bantuan
• Karyawan memiliki kewenangan untuk mengambil tindakan segera, bila ada permasalahan pelanggan
• Adanya kriteria untuk memutuskan/meminta bantuan
• Karyawan tidak merasa terancam, bila mengungkapkan masalah/ kesulitan, atau berbuat salah

Ada dua jenis pemberdayaan yang diperkenakan oleh Neville Lake dan Kristin Hickey, yaitu:

a. STRUCTURED EMPOWERMENT
• Aturan dibuat baku untuk berbagai situasi yang berbeda
• Prinsipnya : apa saja alternatif dari perusahaan untuk memuaskan pelanggan?
• Misalnya di sebuah restoran, pelanggan yang kecewa dilayani oleh karyawan dengan memberikan pilihan (yang sudah ditetapkan oleh manajemen restoran) untuk mengobati kekecewaannya seperti: memberikan makanan atau minuman gratis, potongan harga atau voucher untuk kunjungan berikutnya.




b. UNSTRUCTURED EMPOWERMENT
• Karyawan diberikan budget tertentu dan dapat menggunakannya sesuai dengan kebijaksanaannya
• Prinsipnya : apa yang paling tepat dapat saya lakukan/berikan untuk memuaskan pelanggan ?
• Misalkan di restoran yang sama, para karyawan diberikan kebebasan untuk mengambil keputusan apa saja menurutnya yang terbaik untuk mengobati kekecewaan pelanggan dengan batasan sampai senilai satu juta rupiah (manajemen restoran tidak menetapkan kebijakan atau pilihan).

Bentuk pemberdayaan yang akan anda pilih tentunya harus disesuaikan dengan kondisi perusahaan dan strategi pelayanan yang telah ditetapkan oleh perusahaan. Manapun yang dipilih, pastikan bahwa aturan dan kebijakannya harus jelas sehingga tidak membingungkan para garda depan dalam mengambil keputusan terbaik bagi pelanggan. Dan tidak kalah pentingnya adalah usaha perusahaan untuk menciptakan lingkungan yang mendukung terlaksananya pemberdayaan ini dengan baik.


Mahyudanil Lubis

POWERFUL TELEPHONE SKILLS: Memberikan Pelayanan Prima lewat Telepon

Umumnya penemu telepon yang lebih dikenal masyarakat adalah Alexander Graham Bell pada tahun 1976. Namun sepertinya sejarah harus ditulis ulang karena pada tanggal 11 Juni 2002 di kongres Amerika Serikat menetapkan bahwa penemu telepon adalah Antonio Meucci, seorang imigran dari Florence Itali pada tahun 1849 dan mematenkan hasil karyanya pada tahun 1871. Terlepas dari kontroversi siapa penemu telepon, mereka pastinya akan sangat bangga dengan perkembangan teknologi dan pemakaian telepon saat ini.

Seiring dengan perkembangan zaman, kita dihadapkan pada kenyataan bahwa intensitas berkomunikasi lewat telepon meningkat tajam. Sulit dibayangkan bila menjalankan suatu bisnis tanpa adanya telepon, karena telepon sudah menjadi bagian dari hidup kita. Beberapa fakta di dunia menyatakan bahwa sejak tahun 2000 sampai saat ini lebih dari 500 juta telepon dilakukan per hari, inbound call (telepon masuk) perusahaan rata-rata meningkat ± 5x lipat, seiring dengan peningkatan pengguna telepon (statis/genggam) sebanyak ± 200%. Serta terjadinya peningkatan ± 14% waktu interaksi yang dihabiskan perusahaan dengan para pelanggannya melalui telepon.

Hal ini disebabkan karena pelanggan merasakan manfaat saat berinteraksi lewat telepon, lebih mudah, lebih cepat, lebih menghemat waktu, lebih nyaman dan lebih murah. Perusahaan melihat hal ini sebagai peluang untuk memberikan pelayanan lebih baik. Sehingga mau tidak mau perusahaan juga harus mengimbangi arah pelayanan yang semakin menekankan kemudahan dan kecepatan dengan prinsip: kapan saja, dimana saja.

Namun sebuah penelitian menyebutkan bahwa dalam setahun di seluruh dunia, perusahaan bisa kehilangan sekitar 18 juta pelanggannya dikarenakan mendapatkan pelayanan yang buruk melalui alat dan/atau sistem yang berbasis telepon, khususnya ditentukan oleh petugas yang terkait di dalamnya.

Memberikan pelayanan lewat telepon memang memiliki tantangan tersendiri karena kita tidak dapat melihat langsung pelanggan saat berkomunikasi, karena pada dasarnya komunikasi ditentukan oleh tiga komponen yaitu: 7% oleh kata-kata, 38% oleh suara dan 55% oleh bahasa tubuh. Penelitian menunjukkan bahwa seseorang dalam berkomunikasi lebih menekankan terhadap apa yang dilihat dari pada yang didengarkan. Untuk itu sangatlah dibutuhkan suatu pemahaman dan keterampilan melayani lewat telepon agar dapat memberikan pelayanan terbaik bagi pelanggan.

Ketiga komponan tersebut (kata-kata, suara dan bahasa tubuh) haruslah dapat kita kelola dengan baik.

a. Kata-kata

  • Pilihlah kata-kata secara cermat karena penelpon tidak bisa melihat anda
  • Gunakanlah kata-kata yang tepat untuk memudahkan lawan bicara membayangkan apa yang anda maksud
  • Hindari penggunaan kata-kata membingungkan termasuk istilah, jargon-jargon dan singkatan
  • Selama percakapan, pastikan lawan bicara dapat memahami pesan anda

b. Suara

  • Kuncinya adalah mengelola volume, nada suara/intonasi, kecepatan bicara dan artikulasi
  • Tersenyumlah saat berbicara sehingga anda mampu mengeluarkan nada suara yang ramah
  • Berbicaralah dengan jelas, pastikan tidak ada halangan di mulut saat berbicara (makanan, rokok, dll.)
  • Aturlah kecepatan berbicara, tidak terlalu lambat atau terlalu cepat, lakukan konfirmasi kepada lawan bicara
  • Volume suara yang terlalu keras membuat lawan bicara tidak nyaman sedangkan terlalu lemah membuat lawan bicara kesulitan mendengar anda


c. Bahasa Tubuh

  • Penggunaan bahasa tubuh yang baik akan memberikan penekanan dalam komunikasi lewat telepon walaupun tidak terlihat
  • Duduklah dengan tegap, jangan bersandar sehingga kualitas suara yang dikeluarkan lebih baik
  • Jika ingin mengeluarkan suara yang lebih asertif, berdirilah
  • Tersenyumlah, walaupun tidak bisa dilihat namun akan “terdengar” oleh lawan bicara
  • Fokuskan pandangan ke suatu titik atau objek tertentu karena dapat membantu anda untuk konsentrasi dalam pembicaraan

Beberapa tips yang dilakukan untuk memberikan pengalaman yang menyenangkan bagi lawan bicara saat anda menerima telepon:

  • Angkat telpon secepatnya
  • Berbicaralah dengan ramah dan sopan
  • Dengarkan mereka
  • Tunjukkan pengertian dan empati
  • Sebut nama penelpon bila sudah tahu
  • Tunjukkan keinginan untuk membantu
  • Gali informasi sebanyak mungkin
  • Berikan informasi yang komplit dan akurat
  • Segera respon dan ambil tindakan
  • Berikan apa yang mereka butuhkan
  • Lakukan tranfer bila hanya diperlukan
  • Tutuplah dengan sopan
  • Lakukan follow-up call
  • Under promise, over deliver

Salah satu hal yang sangat penting dalam bertelepon adalah kemampuan kita untuk mendengar lawan bicara secara efektif. Kegagalan dalam mendengar dalam bertelepon bisa disebabkan beberapa hal, antara lain: suara berisik, kondisi fisik seperti kelelahan, memikirkan apa yang akan Anda katakan setelah itu, gangguan (suara telepon, gerak-gerik rekan Anda, dll), masih terpengaruh oleh penelepon sebelumnya, tidak memahami apa maksud penelepon sebenarnya, terlibat secara emosional secara berlebihan, dan lain sebagainya.

Untuk mendengarkan secara efektif, anda perlu melakukan hal-hal sebagai berikut:

  • Kurangi berbicara, karena anda tidak bisa mendengar sekaligus berbicara
  • Berpikirlah seperti pelanggan, anda akan lebih mudah memahami kebutuhan dan harapan pelanggan bila melihat dari sudut mata pelanggan
  • Kenalilah karakter pelanggan, anda akan lebih mudah untuk memahami pelanggan dengan mengenal karakternya
  • Sabar, apabila ada jeda bahkan jeda yang lama, bukan berarti pelanggan sudah selesai
  • Konsentrasi, fokus terhadap apa yang diucapkan pelanggan
  • Ajukan pertanyaan, jika anda tidak mengetahui seuatu yang disebutkan pelanggan, tanyakanlah sebelum memalukan anda
  • Baca yang “tersurat” dan “tersirat”, jangan hanya mendengarkan kata-kata tetapi juga maksudnya
  • Gunakan “interjections”, pancing pelanggan untuk berbicara lebih banyak, dengan mengucapkan, misalnya, “oh?”, “misalnya bagaimana?”, “maksud Bapak?”, “kenapa demikian?”
  • Jangan terlalu cepat mengambil kesimpulan, dengarkan dulu penjelasan pelanggan, jangan terburu-buru mengambil kesimpulan, pastikan apa yang anda asumsikan sama dengan pendapat pelanggan
  • Praktek mendengarkan, latihanlah secara kontinu dengan orang lain untuk meningkatkan keterampilan mendengar anda

Kalau anda yang menelepon pelanggan, apa yang harus dilakukan? Beberapa tips di bawah ini dapat membantu anda:

1. Persiapan. Sebelum menelepon, pastikan anda mengetahui:
· Apa yang ingin disampaikan dan kepada siapa
· Bagaimana bisa menghubungi orang yang anda tuju
· Apa yang akan dilakukan bila orang yang dituju tidak berada di tempat
· Pesan apa yang akan anda tinggalkan bila telepon anda dijawab oleh mesin
· Kata-kata pembuka percakapan
· Bagaimana memperkenalkan diri dan perusahaan anda
· Semua informasi yang dibutuhkan dalam percakapan
· Apa yang dilakukan bila percakapan tersebut melenceng dari arah atau bagaimana bila lawan bicara mengungkapkan keberatan atau keluhannya

2. Selama percakapan, pastikan anda:
· Bersikap sopan dan ramah
· Mendengar dengan aktif
· Melakukan konfirmasi/cek pemahaman
· Mengajukan pertanyaan
· Membuat catatan yang diperlukan
· Tetap fokus

3. Di akhir percakapan:
· Ulangi/uraikan kembali informasi penting yang telah anda terima/sepakati
· Tutuplah dengan ringkasan atau janji (kalau ada)
· Berterimakasih atas telepon pelanggan
· Berikan kesan bahwa (perusahaan) Anda menghargai hubungan kerja sama yang selama ini telah terjalin
· Akhiri pembicaraan dengan kesan yang mendalam
· Tutuplah dengan sopan

4. Setelah menelepon:
· Periksa kembali catatan anda, apa yang akan dilakukan
· Tindaklanjuti hasil telepon pelanggan

Pelayanan lewat telepon merupakan salah satu titik interaksi perusahaan dengan pelanggan (moment of truth) yang sangat penting dan kritis, oleh karenanya haruslah dikelola dengan baik. Tentunya dengan cara memberikan pelayanan prima lewat telepon. Prinsip yang paling mendasar dalam pelayanan telepon ini adalah: ”perlakukanlah penelepon seperti anda ingin diperlakukan!”.

Mahyudanil Lubis

Membangun KOMUNIKASI yang Efektif dengan Pelanggan

“Komunikasi” -communicacion, /kʌˌmjunɪˈkeɪʃən/, communication - the exchange or transfer of words, thoughts, ideas, information or data by whatever means (Sumber: Wiktionary.org).

Saya yakin kita semua sangat mengenal dengan kata ini. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, komunikasi berarti: pengiriman dan penerimaan pesan atau berita antara dua orang atau lebih sehingga pesan yang dimaksud dapat dipahami; hubungan; kontak.

Sudah pasti komunikasi ini tidak bisa lepas dari kehidupan kita, bahkan sebelum manusia diciptakan. Komunikasi antar manusia dengan berbicara menurut para ahli mulai berevolusi 200 ribu tahun lalu. Simbol sebagai alat komunikasi dikembangkan sekitar 30 ribu tahun lalu dan tulisan sekitar 7000 tahun yang lalu. Dan dalam beberapa abad terakhir, telah terjadi perubahan dan pengembangan besar-besaran dalam komunikasi seperti yang kita lihat sekarang.

Namun seberapa banyak diantara kita yang telah berkomunikasi dengan efektif ? Dengan keluarga? Dengan rekan kerja, atasan, bawahan? Dengan Pelanggan?

Terciptanya service quality dan kepuasan pelanggan tidak akan bisa tanpa komunikasi. Karena salah satu prinsip terpenting dari pondasi membangun kualitas pelayanan adalah terciptanya komunikasi yang bersifat terbuka serta dua arah. Perusahaan berkomunikasi dengan pelanggan dari berbagai macam cara baik langsung maupun tidak langsung; kontak langsung (face-to-face), lewat media telepon, web, fax, media promosi dan lain-lain. Di setiap media komunikasi ini, kita haruslah dapat memberikan pelayanan terbaik guna memuaskan pelanggan.

Komunikasi tercipta karena adanya si ”pengirim” pesan dan ”penerima ” pesan. Komunikasi akan efektif apabila pesan yang disampaikan oleh si ”pengirim” pesan dapat diterima dan dipahami dengan baik oleh si ”penerima” pesan, dengan cara memberikan umpan balik. Proses tersebut dikenal dengan istilah communication loop.

Pada kenyataannya sering sekali komunikasi gagal karena adanya gangguan dalam communication loop tadi. Beberapa hal yang bisa menyebabkan terjadinya gangguan komunikasi bisa berasal dari si ”pengirim” atau ”penerima” pesan, media komunikasi, atau lingkungan. Misalnya:

  • Pesan yang disampaikan terlalu kompleks
  • Banyak menggunakan jargon/istilah yang tidak dipahami/membingungkan
  • Kurangnya kemampuan untuk menjelaskan dari si ”pengirim” pesan
  • Kurangnya kemampuan untuk mendengarkan dari si ”penerima” pesan
  • Media yang terganggu misalnya alat telepon rusak, tidak ada sinyal, dan lain-lain.
  • Lingkungan yang berisik, dan lain-lain.


Satu hal terpenting yang sering menjadi penyebab gagalnya komunikasi adalah karena manusia pada umumnya memiliki kecenderungan untuk mendengar dan mengingat hal-hal yang membuat mereka tertarik, atau sesuatu yang mereka setujui. Perbedaan persepsi, keyakinan, ide, pengetahuan merupakan tantangan dalam membangun komunikasi yang efektif.

Komunikasi itu sendiri terdiri dari dua tingkatan:
A. Komunikasi pada tingkat Pribadi (Interpersonal)
B. Komunikasi pada tingkat Organisasi


A. Komunikasi pada tingkat Pribadi (Interpersonal)

Kita berkomunikasi dengan pelanggan dalam banyak cara, namun pada umumnya komunikasi dua arah antara perusahaan dangan pelanggannya dapat digolongkan menjadi:
o kontak langsung (face-to-face)
o lewat telepon
o lewat surat/email/fax (tertulis)

1. Komunikasi Langsung (face-to-face)

Keberhasilan komunikasi pada intinya ditentukan atas 3 elemen dimana 7% oleh kata-kata, 38% oleh suara (cara kita mengucapkannya) dan 55% oleh bahasa tubuh.

a. Kata-kata

  • Pilihlah kata-kata yang tepat (dengan kata-kata akan membantu seseorang untuk membayangkan)
  • Hindari penggunaan kata-kata /istilah/jargon yang membingungkan dan sulit dipahami


b. Suara

  • Hal-hal yang perlu diperhatikan: volume suara, intonasi/nada suara, artikulasi, kecepatan bicara
  • Aturlah volume suara (tidak terlalu rendah dan tidak terlalu tinggi) agar lawan bicara dapat mendengar dengan jelas
  • Berbicaralah dengan jelas (artikulasi). Hindari mulut berisi sesuatu saat berbicara
  • Buatlah nada yang ramah saat berbicara dengan cara tersenyum
  • Untuk membantu agar terlihat lebih asertif, berdirilah saat berbicara
  • Aturlah kecepatan berbicara anda (tidak terlalu cepat dan terlalu lambat). Kecepatan bicara sangat bervariasi berdasarkan negara dan daerah asal, para ahli menyarankan berkisar antara 130 – 150 kata per menit

c. Bahasa Tubuh

  • Senyum selama pembicaraan
  • Lakukan kontak mata
  • Jaga emosi yang tercermin dari gerakkan kepala dan ekspresi wajah. Tampilkan ekspresi wajah yang hangat dan bersahabat
  • Jaga penampilan yang rapi dan sopan, pada umumnya penampilan seseorang mencerminkan kepribadiannya
  • Jaga jarak dengan pelanggan saat berbicara (tidak terlalu dekat dan terlalu jauh), gunakan ”zona nyaman” kurang lebih 1 meter
  • Atur pergerakan tangan, kaki, kepala, tubuh anda saat berbicara. Karena bahasa tubuh dapat menceritakan dan mencerminkan apa yang dirasakan dan dipikirkan oleh seseorang

Selain ketiga elemen di atas, untuk membangun komunikasi yang efektif diperlukan beberapa hal seperti:

  • Menetapkan tujuan/sasaran komunikasi yang jelas (Informasi, Persuasi, Represi atau Agreement)
  • Menjelaskan dengan efektif: menggunakan 5W1H (What, When, Where, Why, Who dan How)
  • Mendengarkan dengan efektif:
    - Tetap fokus/konsentrasi
    - Baca perkataan (tersurat) dan perasaan (tersirat)
    - Jangan menyela/berusahalah untuk sabar mendengarkan
    - Jangan terlalu cepat mengambil kesimpulan, pastikan pesan yang yang diterima sama dengan yang disampaikan
    - Rangkum pesan yang disampaikan
    - Tanyakan kalau masih kurang jelas (Pancing untuk memberikan informasi sebanyak mungkin)

2. Komunikasi lewat Telepon

Komunikasi lewat telepon memiliki tingkat kesukaran lebih dibandingkan kontak langsung. Penelitian menunjukkan bahwa seseorang dalam berkomunikasi lebih menekankan terhadap apa yang dilihat dari pada yang didengarkan. Dalam komunikasi lewat telepon, keberhasilan komunikasi 18% ditentukan oleh kata-kata dan 82% oleh suara.

Saat ini penelitian menunjukkan bahwa pelanggan semakin banyak berinteraksi lewat telepon dengan perusahaan, hal ini disebabkan karena berkomunikasi lewat telepon dirasakan lebih nyaman, lebih cepat, lebih mudah, lebih menghemat waktu dan lebih murah. Hal ini tentunya berdampak positif terhadap kelangsungan perusahaan. Namun berita buruknya, penelitian juga menunjukkan bahwa dalam setahun + 18.200.000 pelanggan hilang pelanggan hilang, akibat penanganan yang buruk melalui alat dan/atau sistem yang berbasis telepon (atau petugas yang terkait di dalamnya).

Beberapa hal yang dapat dilakukan untuk membangun komunikasi lewat telepon yang efektif :

  • Angkat telpon secepatnya
  • Dengarkan mereka
  • Tunjukkan pengertian dan empati
  • Sebut nama penelpon bila sudah tahu
  • Tunjukkan keinginan untuk membantu
  • Gali informasi sebanyak mungkin
  • Berikan informasi yang komplit dan akurat
  • Segera respon dan ambil tindakan
  • Berikan apa yang mereka butuhkan
  • Lakukan tranfer bila hanya diperlukan
  • Tutuplah dengan sopan
  • Lakukan follow-up call
  • Gunakan prinsip under promise, over deliver
  • Dengan kata lain, kita harus memperlakukan penelpon seperti kita ingin diperlakukan.

3. Komunikasi lewat Surat/Email/Fax (tertulis)

Perusahaan berkomunikasi dengan pelanggan lewat Surat/email/Fax ddisebabkan beberapa asalan sebagai berikut:

  • Pesan yang disampaikan bersifat kompleks dan cukup banyak
  • Terpisah oleh jarak
  • Dibutuhkan dokumen tertulis sebagai arsip
  • Tindak lanjut komunikasi lisan, dan lain-lain.

Untuk membangun komunikasi tertulis yang efektif dengan pelanggan, perlu diketahui beberapa hal yang menyebabkan ketidakpuasan pelanggan saat berkomunikasi dengan media ini:

  • Pelanggan tidak mendapatkan respon yang cepat dan tepat (merasa diabaikan)
  • Nama pelanggan yang tercantum salah eja, dan/atau dialamatkan bukan kepada orang yang tepat (tidak bersifat personal)
  • Surat dan fax tidak sampai ke alamat, email tidak masuk ke Inbox pelanggan
  • Informasi yang disampaikan tidak jelas dan bisa dipahami
  • Tidak jelas siapa PIC atau yang bertanggung jawab terhadap pengiriman surat/email/fax tersebut
  • Isi surat kasar dan bernada ancaman (tidak empati)
  • Tidak mengucapkan apresiasi/terima kasih terhadap email/surat/fax pelanggan (pelanggan tidak merasa dihargai)


B. Komunikasi pada tingkat Organisasi

Riset yang dilakukan Bain & Co. menunjukkan bahwa 67% dari pelanggan akan pindah apabila perusahaan tidak melakukan kontak dengan mereka. Sejalan dengan hasil tersebut, Nortel Networks juga dari hasil risetnya menunjukkan bahwa pelanggan akan lebih loyal apabila mereka menerima komunikasi dan feedback secara berkala dari perusahaan.

Perusahaan juga haruslah mempertimbangkan masak-masak bagaimana kualitas layanannya dikomunikasikan terhadap pelanggan, sehingga tidak terjadi “over-promise and under-deliver”. Pelayanan perusahaan yang dikomunikasikan dan dipromosikan oleh perusahaan lewat media marketingnya haruslah sama dengan aktual pelayanannya.

Komunikasi yang effektif adalah kunci utama dari program implementasi kualitas layanan. Untuk itu perlu dikembangkan langkah-langkah yang terencana untuk mengkomunikasikannya kepada seluruh stakeholders (pelanggan, karyawan, pimpinan, supplier, mitra kerja, dan lain-lain).

Mahyudanil Lubis

DEVELOPING NEW SERVICE

Memanfaatkan Suara Pelanggan Guna Meningkatkan Strategi Pelayanan

“Look at your business through your customer’s eyes..”

Apakah perusahaan anda mengumpulkan suara pelanggan? Kemungkinan sebagian besar akan menjawab: “Ya..., Kami mengumpulkan suara pelanggan dari berbagai sumber seperti survei berkala kami yaitu lewat kuesioner, interview dan FGD. Kami juga mendapatkan suara pelanggan dari pelanggan yang mengisi kotak saran di area layanan kami. Saat pelanggan mengajukan komplain, saat pelanggan menghubungi call center kami, saat bertemu dengan staf kami, saat....”

Namun seberapa banyak di antara anda yang telah memanfaatkan suara pelanggan tersebut untuk mengembangkan strategi pelayanan? Diferensiasi dengan kompetitor? Meningkatkan value perusahaan dan produk di mata pelanggan? Untuk meningkatkan kepuasan dan loyalitas pelanggan? Rasanya pertanyaan tersebut lebih sulit dijawab.

Padahal dengan mengingat persaingan yang semakin ketat saat ini, ada 3 (tiga) hal yang perlu mendapatkan perhatian utama:
  • Kebutuhan dan harapan pelanggan semakin meningkat seiring waktu,
  • Kapabilitas perusahaan kita untuk memenuhi kebutuhan dan harapan pelanggan, serta
  • Kemampuan para kompetitor kita untuk memenuhi kebutuhan dan harapan pelanggan dibanding perusahaan kita


Mau tidak mau, kita harus mengumpulkan ketiga informasi di atas secara berkala dan diolah sedemikian rupa sebagai dasar kita mengembangkan atau mendesain ulang produk (barang/jasa) dan pelayanan kita kepada pelanggan.

Istilah New Service yang tercantum dalam judul artikel ini didefenisikan sebagai sesuatu yang diberikan kepada pelanggan, dimana sebelumnya pelanggan belum pernah mendapatkannya. Bentuknya dapat berupa tambahan, modifikasi, perubahan kecil sampai perubahan besar dalam pelayanan kita kepada pelanggan. Proses pengembangan new service menurut C.H. Lovelock (1984) terdiri dari dua jenis yaitu radical innovations dan incremental innovations yang terdiri dari 6 (enam) tipe seperti di bawah ini:

Radical Innovations:

  • Major innovations, jasa dan pelayanan yang sama sekali baru dimana dipasar belum pernah ada sebelumnya, misalnya: pengiriman paket dalam satu malam oleh Federal Express. Inovasi seperti ini biasanya melibatkan teknologi informasi termasuk internet.
  • Start-up business, jasa dan pelayanan baru dimana di pasar sudah ada sebelumnya, misalnya: transaksi perbankan secara online, service delivery, door-to-door airport shuttle service yang bersaing dengan tradisional taksi dan angkutan bandara lainnya.
  • New services for a market presently served, jasa dan pelayanan baru yang ditawarkan kepada pelanggan dari suatu perusahaan dimana sebelumnya perusahaan tersebut belum pernah menawarkannya (walaupun jasa/pelayanan yang sama mungkin sudah ditawarkan oleh perusahaan lain sebelumnya), misalnya: maskapai penerbangan menawarkan pelayanan telepon, fax dan internet di dalam pesawat.

Incremental Innovations:
·

  • Service line extension, memberikan tambahan terhadap jasa/pelayanan yang sudah ada sebelumnya, misalnya: restoran menawarkan menu baru, maskapai penerbangan menawarkan rute baru.
  • Service improvement, menggambarkan inovasi dalam jasa/pelayanan pada umumnya. Perubahan fitur dari jasa dan pelayanan yang telah ditawarkan sebelumnya, misalnya: proses dipercepat, menambah waktu layanan, dan lain-lain.
  • Style changes, tidak melakukan perubahan yang mendasar terhadap jasa dan pelayanan yang ditawarkan, hanya mengubah penampilan dan secara nyata dilihat perubahannya oleh pelanggan dan berdampak terhadap persepsi, emosi dan sikapnya. Misalnya: mengubah warna dan interior di restoran, perubahan logo, mendesain ulang website, perubahan bentuk dan warna kemasan, dan lain-lain.

Untuk melakukan pengembangan dan perubahan terhadap jasa dan pelayanan, ada 2 (dua) jenis alat, metode dan pendekatan yang dapat kita gunakan:

  • Service Blueprinting (SBP)
  • Quality Function Deployment (QFD)


SERVICE BLUEPRINTING (SBP)

Salah satu kunci penting untuk mempertemukan spesifikasi jasa dan pelayanan kita dengan kebutuhan dan harapan pelanggan adalah kemampuan kita untuk menentukan secara objektif karakteristik jasa/pelayanan yang kritis dan menggambarkannya sehingga para karyawan, pelanggan dan manajemen sama-sama mengetahui apa jasa/pelayanan tersebut dan melihat dimana perannya masing-masing dan memahami keseluruhan langkah dan kagiatan dalam proses jasa/pelayanan.

Service Bluprint (SBP) adalah sebuah gambar atau peta yang secara akurat melukiskan suatu proses/aktivitas pelayanan yang berlangsung di perusahaan yang dibuat agar seluruh pihak yang terkait di dalamnya dapat memahami peran/ kontribusinya masing-masing, sehingga proses/aktivitas tersebut dapat berjalan baik.

Service Blueprint (SBP)`memiliki 3 (tiga) elemen utama:

  • Process (proses dari penyampaian pelayanan)
  • Points of Contact (pihak eksternal/internal yang terkait)
  • Evidence (hal-hal yang terlihat/terasa selama proses)

Sebuah Service Blueprint dapat dibaca dari berbagai cara, tergantung tujuannya. Jika tujuannya adalah untuk melakukan perbaikan, pengembangan dan perubahan terhadap jasa/layanan, maka SBP dapat dilihat secara keseluruhan untuk menilai kompleksitas dari proses, bagaimana proses tersebut bisa diubah, dan bagaimana perubahan dari sudut pelanggan akan berdampak terhadap karyawan yang kontak langsung serta proses internal lain, dan sebaliknya. Evidence juga dapat dianalisa untuk menentukan apakah konsisten dengan tujuan dari jasa/pelayanan. Dengan SBP kita dapat menentukan titik kritis/failure points/bottlenecks dari proses. Ketika hal-hal tersebut telah ditemukan, SBP dapat dikembangkan agar lebih fokus dan lebih detail terhadap bagian tertentu dari sistem tersebut.

Sebagai tambahan dari SBP, pendekatan lain yang dapat digunakan adalah Quality Function Deployment (QFD).


QUALITY FUNCTION DEPLOYMENT (QFD)

Quality Function Deployment (QFD) adalah suatu system/metode terstruktur yang digunakan dalam proses pembuatan produk (barang/jasa) dan pelayanan berdasarkan kebutuhan dan keinginan pelanggan (customer’s needs and wants), serta menterjemahkan needs dan wants tersebut ke dalam berbagai level aktivitas, dari tahap desain hingga operasional.

QFD memiliki sejarah panjang dan lebih banyak digunakan di industri manufaktur dibanding industri jasa. Pada awalnya QFD dikenal dengan dikenal dengan sebutan Requirement Interface Matrix (RIM) yang dikembangkan oleh Ramo Woolridge Corporation (untuk keperluan fit & proper test) pada tahun 1950-an. Kemudian pada tahun 1966 s/d 1972 dikembangkan dan diperkenalkan oleh Shigeru Mizuno, Yoji Akao dan kawan-kawan di Jepang. Dan sejak itu QFD mulai berkembang dan banyak diterapkan oleh perusahaan, diantaranya Toyota, General Motors, AT&T, P&G, Hewlett-Packard, Kodak, Ritz-Carlton, Xerox, DuPont, dan lain sebagainya.


QFD diimplementasikan lewat yang kita kenal dengan istilah ”house of quality”, sebuah table/diagram berbentuk rumah yang menggambarkan keterkaitan antara Kebutuhan dan Keinginan Pelanggan (WHATs) dengan Karakteristik Kualitas Produk (barang/jasa) yang diberikan Perusahaan (HOWs). Hasil dari house of service quality membandingkan tiga elemen utama: customer quality criteria/ customer proportion (apa yang dipersepsikan oleh pelanggan terhadap produk perusahaan dan dibandingkan dengan pesaing), service company facets/ technical proportion (kriteria/persyaratan teknis yang dibuat oleh perusahaan), dan the relationship grid (bagaimana kedua hal ini berhubungan).

Contoh dari penerapan QFD berupa house of service quality dalam Gambar 3. adalah penerapan yang dilakukan oleh Village Volvo, sebuah bengkel mobil independen spesialis merek Volvo yang berkompetisi dengan dealer Volvo sendiri untuk melayani pelanggan.

Secara umum langkah-langkah dalam mengimplemen-tasikan QFD sebagai berikut:

  1. Menentukan suara-suara pelanggan
  2. Mensurvei pelanggan untuk menentukan tingkat kepentingan dan mengevaluasi performansi perusahaan vs pesaing
  3. Mengembangkan matriks customer portion
  4. Mengembangkan matriks technical portion
  5. Menganalisa matriks, serta memilih item-item prioritas untuk perbaikan

Dengan menggunakan kedua metode SBP dan QFD dengan tepat, maka kita akan mendapatkan informasi penting yang dapat menjadi bahan perbaikan, pengembangan dan perubahan jasa dan layanan kita dengan sasaran untuk meningkatkan kepuasan dan loyalitas pelanggan.

Jadi sudah saatnya kita bergerak, mulailah sekarang juga, dan mulailah dari pelanggan Anda!!!

Mahyudanil Lubis


CUSTOMER EXPERIENCE MANAGEMENT:

Selamat Datang Era Customer Experience!


“The customer experience is the next competitive battleground...”

Customer experience? Apa yang dimaksud dengan customer experience? Apakah benar kita telah memasuki era customer experience? Apakah akan berdampak terhadap strategi dan kebijakan organisasi kita dalam melayani pelanggan? Mungkin pertanyaan-pertanyaan di atas terbersit dalam benak Anda ketika membaca judul artikel ini.

Bersiaplah karena kita akan menyongsong era baru, era customer experience. Riset yang dilakukan oleh Shaw dan Ivens dari Beyond PhilosophyTM, menunjukkan bahwa 85% para pemimpin perusahaan-perusahaan besar di dunia setuju bahwa elemen diferensiasi dari tradisional konsep seperti price, delivery dan lead times sudah kurang relevan dalam strategi bisnis. Eleven diferensiasi baru diperlukan, dan customer experiance-lah jawabannya.

Sejalan dengan pernyataan di atas, Ian Mc Allister, former Chairman and Managing Director, Ford Motor Company mengatakan:

“Pada era 1980-an, elemen diferensiasi adalah mutu (quality). Pada tahun 1990-an, saya merasa eleven diferensiasi adalah merek (brand). Menurut saya pada era 2000 ini, customer experience-lah yang menjadi eleven diferensiasi.”

Coba pertimbangkan apa yang telah dilakukan oleh Starbucks, Disney World, Dell Computer, Harley Davidson, Hard Rock Café, Planet Hollywood, Singapore Airlines, Amazon.com, FedEx, Apple Computer, Commerce Bank, dan lain-lain. Mereka telah mendefenisikan experience dalam strategi memanajemeni pelanggan mereka.

Sebagai contoh, mangapa Starbucks memperkenalkan istilah ‘Third Place’ (tempat ketiga, selain rumah dan kantor) bagi pelanggannya, padahal mereka menjual kopi? Kopi yang mereka jual adalah komoditi, sedangkan ‘Third Place’ adalah experience (pengalaman) yang kita beli. Dan kita membelinya dengan harga yang lebih mahal.

Kenapa? Karena dengan menerapkan customer experience, akan berdampak terhadap peningkatan loyalitas pelanggan, margin lebih besar dan pelanggan lebih rela untuk merogoh kantongnya untuk mendapatkan ”pengalaman” yang menyenangkan. Harga kopi sebagai komodi jauh berkali-kali lipat mahalnya apabila dikemas dalam experience, walaupun pada kenyataannya tidak semua experience harus diperoleh dengan harga yang lebih tinggi.

Jadi apakah yang dimaksud dengan customer experience? Sebelum menjawabnya, cobalah Anda menjawab pertanyaan berikut terlebih dahulu. Cobalah Anda ingat, pernahkan Anda mengalami pengalaman yang unik dan menyenangkan saat berinteraksi dengan suatu perusahaan, saat Anda membeli/mengkonsumsi produknya?

Pada umumnya orang-orang yang diajukan pertanyaan di atas, tidak akan langsung menjawab secara spontan. Kenapa? Karena memang belum banyak yang mampu memberikan pengalaman yang unik dan menyenangkan. Ini menunjukkan bahwa membangun customer experience tidaklah semudah yang dibayangkan. Beda halnya apabila ditanyakan tentang pengalaman yang tidak menyenangkan.

Defenisi customer experience menurut Colin Shaw dan John Ivens sebagai berikut:

The customer experience is a blend of a company’s physical performance and the emotions evoked, intuitively measured against customer expectation across all moments of contact.

Dari defenisi di atas, didapatkan dua elemen dari customer experience: fisikal dan emosional. Kemudian ada kata blend, ini berarti customer experience tidak dipengaruhi satu unsur/aspek saja, namu gabungan dari banyak aspek. Kemudian muncul penilaian dari gap antara persepsi pelanggan dengan ekspektasinya. Dan penilaian ini muncul disetiap kontak antara pelanggan dengan perusahaan.

Experience menciptakan nilai tambah dengan cara mengkaitkan dan menghubungkan pelanggan secara personal, unik, menyenangkan dan tidak terlupakan. Untuk menciptakan dan mengimplementasikan customer experience, menurut Colin Shaw dan John Ivens dibutuhkan tujuh filosofi yang mereka sebut dengan The Seven Philosophies for Building Great Customer Experience:

  1. Customer experience adalah sumber keunggulan kompetitif jangka panjang
  2. Customer experience diciptakan secara konsisten untuk memenuhi ekspektasi pelanggan secara fisikal dan emosional
  3. Customer experience difokuskan untuk menstimulasi emosi pelanggan secara terencana
  4. Customer experience tercipta apabila didorong oleh kepemimpinan, pemberdayaan budaya dan orang-orang di perusahaan yang memiliki kemampuan dan kemauan untuk melayani
  5. Customer experience didesain dengan bertolak dari sudut pandang pelanggan (outside in), dibandingkan dari sisi manajemen perusahaan (inside out)
  6. Customer experience akan menghasilkan keuntungan jangka panjang dan berimplikasi terhadap penurunan biaya
  7. Customer experience adalah perwujudan dari merek

Sedangkan Bernd H. Schmitt (2003) menawarkan 5 langkah untuk mengimplementasikan Customer Experience Management Framework (CEM):

1. Menganalisis dunia experience pelanggan
2. Membangun platform experience
3. Mendesain brand experience
4. Menstrukturkan titik temu dengan pelanggan
5. Secara konsisten melakukan inovasi yang berkelanjutan

Dengan melakukan langkah-langkah di atas secara tepat, maka perusahaan Anda akan mampu menciptakan pengalaman pelanggan yang tak terlupakan, tentunya sasaran akhir adalah meningkatkan loyalitas pelanggan yang akan berdampak langsung terhadap profit dan pertumbuhan perusahaan Anda.

Namun pertanyaan mendasar yang harus dijawab sebelum melangkah lebih jauh: Sudah siapkah Anda menyongsong era customer experience? Karena customer experience adalah arena pertempuran kompetitif berikutnya...!!!

Mahyudanil Lubis - PQM Consultants



MENINGKATKAN KUALITAS SURVEI PELANGGAN

”The best way to evaluate customer service? Ask the customer…”

Bagaimana cara kita untuk meningkatkan pelayanan kepada pelanggan? Jawabannya sangatlah sederhana, kita perlu mengetahui apa saja yang dibutuhkan dan diharapkan oleh pelanggan kemudian mencoba untuk melakukan pemenuhannya. Namun saat kita mulai menyakan dengan melakukan survei pelanggan, ternyata tidaklah semudah yang dibayangkan. Banyak perusahaan yang telah melakukan survei pelanggan, tetapi berapakah yang telah melakukan dengan tepat dan memperoleh hasil survei yang memang mencerminkan kondisi sebenarnya? Dan berapa banyak dari hasil survei yang telah ditindaklanjuti oleh perusahaan? Rasanya tidak banyak, karena saat melakukan survei pelanggan pada umumnya dihadapkan dengan hambatan komunikasi dan kesalahan dalam melakukan proses survei.
Pada umumnya survei pelanggan yang dilakukan terdiri dari enam tahapan seperti di bawah ini:
  • Initiation (T1)
  • Development (T2)
  • Administration (T3)
  • Collection (T4)
  • Analysis (T5)
  • Action (T6)


Di dalam maupun di antara tahapan, bisa muncul communication gaps yang bisa menurunkan kualitas dari survei kita. Untuk menghindarinya perlunya menjawab beberapa hal di bawah ini:

  • Apakah informasi yang dibutuhkan oleh manajemen saat tahapan 6 6 (T6) sama dengan informasi yang diminta oleh manajemen pada tahapan T1? ... oleh tim survei di tahapan T2? ... pada saat mengumpulkan data di tahapan T3? ... saat di responden di T4?
  • Apakah informasi yang dibutuhkan dan diminta di bagian A sama dengan informasi yang tersedia dan disiapkan oleh responden di T4?
  • Apakah informasi yang dibutuhkan dan diminta di bagian A dan informasi yang tersedia dan disiapkan di bagian B sama dengan informasi yang didapatkan dan dipahami oleh tim survei di T5?
  • Apakah informasi yang dibutuhkan dan diminta di bagian A dan informasi yang tersedia dan disiapkan di bagian B dan informasi yang didapatkan dan dipahami di bagian C sama dengan informasi yang diperoleh dan diterima baik oleh manajemen di T6?
    Jika jawabannya tidak, seberapa percaya kita terhadap kualitas dari survei yang kita lakukan?

Untuk meningkatkan kualitas survei, dapat kita lakukan cara lebih fokus terhadap proses survei dan alat ukur survei.
A. The Survey Process
A1. Time Period 1 – Initiation of the survey
Manajemen meminta agar dilakukan survei. Apakah manajemen memberikan komitmennya dengan mengkomunikasikan mengapa survei ini dibutuhkan dan siap menerima penolakan? Apakah tim survei telah memahami dengan benar tujuan sebenarnya dari survei ini? Seberapa efektif manajemen dan tim survei berkomunikasi?

A2. Time Period 1 – Development of the survey
Tim survei menerjemahkan permintaan manajemen ke dalam desain survei yang efektif. Apakah tim survei membuat alat ukur yang valid dan reliable?

A3. Time Period 3 – Administration of the survey
Metode pengumpulan data sangatlah berpengaruh terhadap proses dan hasil akhir survey. Apakah metode yang dilakukan sudah tepat?

A4. Time Period 4 – Collection of the survey data
Tim survei melakukan kegiatan untuk meningkatkan respon rate. Apakah jumlah respon rate sudah mencapai target yang ditetapkan? Langkah-langkah yang sudah dilakukan untuk meningkatkan respon rate sudahkah tepat?

A5. Time Period 5 – Data entry and analysis
Data yang sudah terkumpul ditabulasi, dianalisa dan diinterpretasikan. Apakah teknik analisa yang dilakukan sudah tepat?

A6. Time Period 6 – Completion and management action
Manajemen menerima hasil survei dari tim survei. Apakah dilakukan tindak lanjut dari hasil survei?


B. The Survey Instrument
Alat ukur survei (dalam hal ini yang paling sering digunakan adalah kuesioner) juga sangat menentukan kualitas dari survei yang kita lakukan, untuk itu perlu meningkatkan kualitas untuk masing-masing bagian:

B1. Cover letter
Kesan pertama sangatlah penting. Kebanyakan timbulnya penolakan sering disebabkan hal ini.
B2. Instructions
B3. Questions: content and wording
B4. Questions: sequence and layout
B5. Response categories and scales
B6. Demographics
B7. Closing

Survei tidaklah pernah sempurna. Tidak ada rumusan yang benar-benar bisa menjamin secara pasti akan menghasilkan alat ukur yang optimal. Desain survei membutuhkan pengalaman. Kualitas survei juga ditentukan oleh kreatifitas dan keterampilan serta pengalaman dari anggota tim survei. Namun untuk meningkatkan kualitas survei hendaklah menghilangkan communication gaps di dalam maupun di antara masing-masing tahapan serta meningkatkan kualitas proses survei dan kualitas alat ukur survei.

MEMANAJEMENI KOMPLAIN PELANGGAN:

DIMANAKAH POSISI PERUSAHAAN ANDA?
“Only about 10 to 12% problem rate may be the lowest that most industries can achieve..”

Alangkah idealnya apabila setiap perusahaan mampu memberikan produk dan pelayanan yang selalu handal sehingga tidak pernah memicu timbulnya komplain dari pelanggan. Walaupun perusahaan telah berusaha dengan melakukan berbagai cara, pada kenyataannya permasalahan selalu muncul. Oleh karena itu perusahaan harus mampu melakukan service recovery, suatu proses yang mengubah sesuatu yang salah menjadi baik kembali.

Service recovery biasanya dilakukan saat perusahaan mengetahui bahwa telah terjadi permasalahan atau kegagalan dalam memberikan produk atau pelayanan kepada pelanggan. Namun ada suatu kondisi dimana pelanggan tidak menyampaikan keluhannya kepada perusahaan. Technical Assistance Research Program (TARP) menyimpulkan bahwa hanya 4% dari pelanggan yang menyampikan keluhannya kepada perusahaan.

Hubungan antara kegagalan produk/pelayanan, keluhan pelanggan dan tindakan yang harus diambil perusahaan dijelaskan dalam kuadran berikut:

Quadrant 1:

No product or service failure
Customer does not say anything
Company action: CELEBRATION


Quadrant 2:

No product or service failure
Customer dissatisfied and the customer speaks up
Company action: PROACTIVE CUSTOMER EDUCATION

Quadrant 3:

Product or service failure
Customer does not say anything
Company action: ENCOURAGE CUSTOMER COMPLAINTS

Quadrant 4:

Product or service failure
Customer dissatisfied and the customer speaks up
Company action: SERVICE RECOVERY

Source : A Complaint is a Gift, Barlow & Moller

Kuadran 1, adalah situasi ideal dimana menurut persepsi perusahaan semua berjalan dengan baik dan lancar serta tidak terjadi kegagalan dalam produk dan pelayanan yang diberikan kepada pelanggan. Sedangkan pelanggan sendiri tidak menyampaikan keluhannya kepada perusahaan. Perusahaan dalam kondisi ini memang dapat bergembira dan merayakan keberhasilannya. Tentu saja hal ini dapat terjadi setelah perusahaan benar-benar telah memastikan memang tidak terjadi kegagalan, dan memastikan pelanggan memang puas dan tidak ada yang mengajukan keluhan kepada perusahaan.

Kuadran 2, adalah situasi dimana menurut persepsi perusahaan tidak terjadi kegagalan dalam produk atau pelayanan kepada pelanggan. Sedangkan pelanggan merasa tidak puas dan mengajukan keluhan kepada perusahaan. Misalnya pelanggan yang ditinggalkan pesawat karena mereka salah membaca tiket sehingga terlambat ke bandara. Walaupun pelanggan tersebut “salah”, namun mereka tetaplah pelanggan yang telah mengeluarkan uangnya untuk mendapatkan produk dan pelayanan dari perusahaan, sehingga mereka merasa berhak untuk mengajukan keluhannya kepada perusahaan. Ini adalah kesempatan perusahaan untuk melakukan pendekatan proaktif kepada pelanggan dengan melakukan ‘edukasi’ seperti menjelaskan standar yang ada, serta kesempatan untuk melihat permasalahan dari sudut pandang pelanggan, sehingga kejadian serupa tidak akan terjadi kembali.

Kuadran 3, merupakan permasalahan terbesar dan sering terjadi bagi perusahaan. Pelanggan tidak menyampaikan keluhannya kepada perusahaan, sedangkan perusahaan beranggapan bahwa semuanya telah berjalan baik, padahal pada kenyataannya tidaklah demikian. Kalau hal ini dibiarkan, akan membawa efek yang sangat buruk bagi perusahaan. Oleh karena itu perusahaan harus membuka saluran komplain seluasnya dengan tujuan mengajak pelanggan agar mau menyampaikan keluhannya. Saluran komplain bisa berupa Toll Free Number, Call Center, Homepage/Email, CS Unit/Department, CS Survey, dan lain-lain.

Kuadran 4, adalah situasi dimana service recovery dibutuhkan. Memang telah terjadi kegagalan dalam memberikan produk dan pelayanan kepada pelangggan, dan pelanggan menyampaikan permasalahannya kepada perusahaan. Perusahaan haruslah mempersiapkan diri dan memiliki keahlian dalam service recovery. Hal ini adalah ujian pelayanan dan kesempatan emas bagi perusahaan untuk memenangkan hati pelanggan,untuk merubahnya menjadi pelanggan loyal. Menurut TARP, 82% pelanggan akan kembali lagi kepada perusahaan setelah keluhannya ditangani dan terselesaikan dengan cepat oleh perusahaan. Namun perlu diingat bahwa pelanggan akan menganggap perusahaan tidak handal apabila permasalahan serupa berulang kembali. Untuk itu cara yang paling baik adalah menerapkan prinsip Do it right the first time!

Dalam memanajemeni komplain pelanggan, perusahaan perlu mengetahui berada di kuadran yang mana posisinya saat ini, sehingga mampu mengambil tindakan yang tepat. Tentu saja tidak terlepas dari kemampuan perusahaan menanamkan paradigma komplain adalah peluang perbaikan dan ‘hadiah’ dari pelanggan. Mampu menerapkan sistem komplain yang baik, serta menciptakan perusahaan yang “complaint friendly” yang mencakup Strategy, Policy, Culture dan Environment.

Kini saatnya perusahaan Anda bertindak dan mulailah dengan menjawab pertanyaan ini: Dimanakah posisi perusahaan Anda ?
Mahyudanil Lubis
PQM Consultants

STRATEGI MEMPERTAHANKAN PELAYANAN PRIMA PADA SAAT ”PEAK DEMAND”

“ Service Excellence is a golden opportunity to win over Customer ”


Setiap industri pastilah pernah mengalami situasi dimana harus melayani banyak pelanggan diluar batas normalnya (peak demand). Beberapa kasus seperti penanganan lewat telepon atau saat berhadapan langsung dengan pelanggan. Misalnya perusahaan penerbangan akan kebanjiran permintaan saat liburan atau akhir tahun, restoran pada saat makan siang, saat perusahaan meluncurkan produk baru dan lain-lain. Kondisi ini sering menyebabkan staf yang melayani menjadi kelebihan beban kerja dan tidak jarang menyebabkan frustasi dan stress yang mengakibatkan kualitas pelayanan kepada pelanggan menjadi menurun.


Ada beberapa perusahaan yang merekrut karyawan sementara untuk membantu khususnya pada masa-masa ini, namun biasanya mereka tidak diberi pelatihan yang cukup untuk melayani pelanggan dengan baik. Sebaliknya, karyawan tetap perusahaan juga banyak yang belum terlatih dalam menangani pelanggan dalam kondisi padat dan sibuk ini. Pada kenyataannya, bukan hanya staf yang tidak siap menghadapi kondisi ini bahkan supervisor dan manajer juga mengalami hal yang sama.


Jika perusahaan mempersiapkan dengan matang dan dapat mengelola dengan baik pelayanan dalam kondisi peak demand, maka hal tersebut akan menjadi kesempatan emas untuk meraih hati pelanggan. Ingatlah bahwa pelanggan merasa frustasi dan tertekan selama kondisi peak demand, dan mereka akan sangat menghargai perhatian dan pelayanan terbaik yang diberikan perusahaan pada saat tersebut.
Ada sepuluh strategi yang dapat diterapkan untuk mempertahankan pelayanan prima dalam kondisi peak demand, jika dijalankan bersamaan akan lebih efektif dan memberikan efek positif terhadap perilaku dan kinerja para staf.

1. Manajemen memiliki kemauan untuk turun langsung ke lapangan
Saat perusahaan meminta agar para staf memberikan pelayanan prima kepada pelanggan maka supervisor dan manajer juga haruslah melakukan hal yang sama. Saat peak demand ini para manajer keluar dari kantornya dan muncul di front line, kalau perlu turut turun tangan untuk membantu melayani pelanggan. Kebanyakan manajer perusahaan justru ”menghilang” saat peak demand. Ingatlah selalu bahwa seorang manajer adalah pembimbing, mentor, pendorong dan pemberi support serta motivasi bagi staf yang berada dalam keadaan dibawah tekanan saat kondisi ini. Apabila manajer dan supervisor melakukan hal tersebut maka para staf akan merasa disupport dan membuat apa yang mereka kerjakan lebih bernilai.

2. Mempersiapkan staf agar mengetahui apa yang akan mereka hadapi
Beritahulah kondisi seperti apa yang para staf akan hadapi dalam kondisi peak demand, bahkan ketika melakukan interview perekrutan karyawan, sehingga staf akan lebih siap dan tidak akan kaget lagi menghadapi segala sesuatu yang diluar dugaan. Beberapa saran yang dapat digunakan dalam rapat/pertemuan dengan staf dalam mempersiapkan kondisi peak demand:

  • Ajaklah staf untuk melihat kondisi dari sudut pandang pelanggan.
  • Tanyakan apakah mereka pernah mengalami kejadian sebagai pelanggan di suatu tempat di saat peak demand, bagaimana perusahaan tersebut menanganinya? Apa yang mereka rasakan saat itu?
  • Nyatakan kesanggupan Anda untuk menjawab segala pertanyaan staf apabila dibutuhkan
  • Ajari staf teknik manajemen stress sederhana, seperti menarik napas panjang sebelum mengangkat setiap telepon yang masuk, meregangkan bahu dan tangan, mendorong mereka agar banyak minum air, dan lain-lain.
  • Dorong mereka agar lebih ramah
  • Ajarkan bagaimana teknik penanganan keluhan pelanggan.
  • Beritahu para staf betapa pentingnya kondisi peak demand ini bagi perusahaan, dimana permintaan pelanggan sedang pada puncaknya dan kesempatan untuk mempertahankan pelanggan untuk kembali lagi apabila dilayani dengan baik.

3. Tetapkan target yang realistis
Perusahaan biasanya menetapkan suatu target yang harus dicapai oleh staf sesuai standar yang telah ada. Misalnya saja waktu yang dibutuhkan dalam melayani setiap pelanggan minimal 5 menit. Selama peak demand, target-target tersebut perlu disesuaikan dengan realita yang ada.

4. Lakukan bimbingan (coaching) yang berkelanjutan
Jangan berhenti melakukan bimbingan kepada staf bahkan di saat-saat sibuk ini. Kemungkinan memang perlu untuk mengurangi waktu yang dipergunakan untuk bimbingan tersebut sesuai kondisi yang ada, namun jangan sampai menghilangkannya sama sekali, karena hal tersebut bertentangan dengan prinsip perbaikan kualitas yang berkelanjutan.

5.
Berikan Panghargaan (Reward) dan Pengakuan (Recognation) bagi karyawan yang berprestasi
Tunjukkan pada staf bahwa perusahaan perduli dan menghargai segala usaha karyawan selama masa kritis tersebut. Ketika masa-masa sibuk telah lewat, buatlah sedikit perayaan berupa ungkapan terima kasih terhadap segala bantuan yang telah dilakukan. Biarkan mereka mengetahui rencana untuk perayaan tersebut guna meningkatkan motivasinya. Apabila tidak memungkinkan melakukan perayaan tersebut, minimal staf diberi surat penghargaan dan hadiah sesuai kemampuan perusahaan, yang pada akhirnya memacu mereka untuk terus melakukan yang terbaik.

6. Izinkan staf istirahat sesaat setelah menghadapi pelanggan yang kecewa
Ada beberapa pelanggan yang memang bersikap terlalu keras dan kadang kala agak kasar dalam menyampaikan keluhannya ketika berhadapan dengan staf perusahaan. Izinkan staf untuk mengambil waktu beberapa menit untuk menenangkan diri. Dorong mereka untuk bangkit kembali, besarkan hatinya, dan minta mereka untuk melupakan kejadian tersebut sehingga tidak meninggalkan efek negatif saat staf tersebut melayani pelanggan berikutnya.

7. Sharing dari staf yang berpengalaman
Staf yang berpengalaman bisa menjadi motivator dan pendorong semangat bagi staf lainnya, karena mereka pernah melakukan dan melaluinya. Kemudian staf yang berpengalaman juga akan merasa lebih dibutuhkan dan dihargai oleh perusahaan.

8.
Berikan kesempatan bagi staf untuk mencurahkan perasaannya dan menceritakan kisah suksesnya
Aturlah waktu dimana staf bisa mencurahkan perasaannya, rasa frustasi dan stress serta alasan dibelakangnya dengan tujuan untuk meringankan beban. Buat pertemuan untuk mendiskusikan interaksi dengan pelanggan. Minta mereka untuk menceritakan situasi yang sulit untuk ditangani dan minta pendapat staf lainnya bagaimana mengelola hal tersebut.
Staf juga dibutuhkan untuk meceritakan kesuksesan disamping rasa frustasinya. Tipe sharing ini akan menciptakan perasaan yang kuat terhadap komitmen terhadap pencapaian kualitas. Persaaan ini diharapkan dapat menular sehingga seluruh staf menyadari bahwa lebih menyenangkan untuk menceritakan kesuksesan, dan dapat menumbuhkan inspirasi untuk terus mencapai kesuksesan yang lebih banyak.


9.
Usahakan agar staf selalu mendapatkan informasi terbaru sebelum pelanggan mengetahuinya
Tidak ada yang lebih membuat pelanggan merasa frustasi selain berhadapan dengan staf perusahaan yang tidak mengetahui informasi terbaru dan tidak dapat membantu menyelesaikan masalahnya. Sedangkan staf akan berada dalam posisi terjepit dan timbul rasa malu. Ajari staf bagaimana mengatasi situasi di saat pelanggan menanyakan sesuatu yang tidak diketahui. Dorong staf agar tidak pernah berpura-pura mereka mengetahui sesuatu yang sebenarnya tidak mereka ketahui. Kemudian latih para staf agar tidak menumbuhkan kecurigaan bagi pelanggan jika pelanggan memang lebih tahu dibandingkan mereka.

10.
Ambil pengalaman sebagai bahan pembelajaran di masa depan
Pengalaman di masa-masa sibuk sebelumnya akan menjadi bahan pembelajaran yang sangat berharga untuk lebih mudah menghadapi masa sibuk yang akan datang. Kumpulkan seluruh staf dan tanyakan apa yang dapat ditarik sebagai bahan pembelajaran. Dengan menanyakan mereka, maka mereka akan merasa lebih dihargai, lebih diperhatikan dan lebih terlibat dalam proses tersebut. Setelah melakukan analisis, simpulkan poin-poin pembelajaran dan masukkan kedalam perencanaan untuk menghadapi masa sibuk berikutnya, sehingga perbaikan yang berkelanjutan terus berjalan.

Strategi di atas dapat membantu dan mempertahankan pelayanan prima kepada pelanggan selama masa-masa sibuk dan padat (peak demand). Mengkombinasikan beberapa strategi akan menciptakan hasil yang lebih baik. Mempertahankan pelayanan prima selama periode ini membutuhkan perencanaan yang matang dan terus menerus melakukan perbaikan, sehingga diharapkan dapat meningkatkan motivasi serta mengurangi stress dari staf dan tujuan akhirnya adalah tercapainya kepuasan pelanggan.

Mahyudanil Lubis
PQM Consultants