Senin, 15 Desember 2008

KARYAWAN YANG ”BERDAYA” (EMPOWERED) PONDASI PELAYANAN PRIMA

Pemberdayaan (empowerment) karyawan khususnya para garda depan merupakan pondasi bagi perusahaan yang ingin menjadi ”service leader”. Karena hanya dengan perusahaan yang memiliki karyawan yang ber-’daya’-lah, yang mampu memberikan pelayanan prima kepada pelanggan-nya.

John Tschohl, pendiri dan presiden Service Quality Institute di Minneapolis, mengatakan bahwa pemberdayaan merupakan keterampilan yang paling kritikal dari seorang karyawan dalam pelayanan pelanggan dimana karyawan dapat menggunakan atau tidak mengindahkan aturan dan kebijakan perusahaan guna memuaskan pelanggan. Sedangkan Jan Carlzon, mantan CEO dari SAS Scandinavian Airlines, mendefinisikan pemberdayaan adalah memberikan kebebasan kepada karyawan dari kontrol yang berlebihan dan memberikan kebebasan kepada mereka untuk bertanggung jawab terhadap ide, keputusan dan tindakannya.

Secara umum Pemberdayaan (empowerment) adalah memberikan karyawan pekerjaan dan kebebasan yang dibutuhkan untuk menggunakan kreativitas dan pertimbangan mereka dalam menghadapi masalah pelanggan tanpa harus meminta petunjuk/ijin atasan/orang lain secara berlebihan. Pemberdayaan berarti memberikan karyawan 3 Well’s: Well INFORMED, Well EQUIPPED, Well AUTHORIZED.

Pemberdayaan adalah salah satu bentuk pendekatan untuk menumbuhkan kepedulian karyawan terhadap pelayanan secara mendasar. Karyawan yang punya rasa tanggung jawab dalam melayani pelanggan akan mampu memberikan pelayanan yang prima. Namun sayang sekali kepedulian dan rasa tanggung jawab ini tidak selalu muncul di setiap organisasi karena karyawan tidak merasa puas dengan kondisi pekerjaannya. Beberapa survei mengungkap bahwa karyawan akan merasa puas terhadap pekerjaannya apabila mereka merasa ”bernilai” dan dianggap penting serta terlibat dalam bisnis. Survei dari MORI terhadap lebih dari 1000 karyawan dari beberapa perusahaan, menunjukan bahwa dua-pertiganya merasa tidak ”dianggap’ (undervalued). Hanya satu dari sepuluh orang yang merasa mereka bernilai, dan hanya satu dari empat orang yang secara aktif berkomitmen membantu sukses perusahaan.

Penelitian yang dilakukan oleh The Involvement and Participation Association terhadap perusahaan-perusahan yang sukses, menunjukkan bahwa peningkatan keterlibatan karyawan memberikan kontribusi terhadap peningkatan keuntungan perusahaan antara 10 sampai dengan 30 persen dalam satu tahun. Kenapa perusahaan yang menerapkan pemberdayaan karyawan berhasil? Hal ini karena pelanggan melihat mereka akan mendapatkan manfaat seperti:
• perusahaan tidak birokratis,
• perusahaan lebih fleksibel,
• perusahaan lebih responsif,
• perusahaan lebih mempertimbangkan kebutuhan dan harapan pelanggan, serta,
• lebih mudah dalam berbisnis.

Sarah Cook (2002), mengatakan akan sangat berguna untuk melihat pemberdayaan berjalan seperti spektrum seperti di bawah ini:

Level – 1:
Karyawan digugah untuk mengambil keputusannya sendiri dan terlibat dalam membuat inisiatif improvement. Namun, manajer yang tetap memutuskan dan melakukan control secara menyeluruh. Di FedEx, para call center agent mengikuti pelatihan selama enam minggu sebelum terjun ke lapangan, dalam training mereka mendapatkan kebebasan untuk memutuskan dalam penyelesaian komplain pelanggan sampai senilai 200 dollar.

Level – 2:
Tim dan individu lebih terlibat dalam pengambilan keputusan yang berdampak terhadap pekerjaannya namun keputusan strategis masih ditangan manajemen. Oriental Hotel di Bangkok telah menang sebanyak 10 kali sebagai hotel terbaik di dunia. General Manager-nya memberikan otoritas kepada seluruh karyawan untuk mengatakan “ya” terhadap seluruh permintaan pelanggannya. Mereka hanya menghadap manajer-nya saat mereka akan mengatakan “tidak”.

Level – 3:
Tim dan individu secara penuh mengelola sendiri dan membuat keputusan yang ruang lingkupnya tidak sekedar pekerjaan. Di Nordstorm, department store terbesar di US, menyampaikan pernyataan di bawah ini kepada seluruh karyawan barunya:
“Rule # 1: Use your good judgement in all situations.
There are no additional rules.”

Namun perlu juga disadari bahwa pelaksanaan pemberdayaan tidaklah semudah yang dibayangkan. Beberapa penghambat pemberdayaan:
• Struktur organisasi yang menghalangi orang untuk berbuat/bertindak
• Perilaku atasan tidak menghargai tindakan/ perbuatan pelayanan demi kepuasan pelanggan
• Kebijakan kepersonaliaan dan sistem informasi yang membuat orang sulit/serba tidak tahu untuk berbuat/bertindak
• Kurangnya kemampuan untuk mengambil keputusan untuk berbuat/bertindak

Lebih lanjut John Tschohl (2006) menemukan ada empat hal yang mengakibatkan 99,9% perusahaan di seluruh dunia tidak mampu memberikan pelayanan yang prima bagi pelanggannya, yaitu:
• Manajemen tidak percaya kepada pelanggannya, mereka menganggap pelanggan itu pembohong dan curang sehingga kalau diberikan kesempatan akan merugikan perusahaan. Sehingga untuk mencegah hal itu manajemen membuat aturan, kebijakan serta prosedur yang berbelit-belit serta menyulitkan karena tidak berpihak kepada pelanggan.
• Manajemen tidak percaya kepada karyawannya, mereka tidak memiliki keyakinan terhadap karyawannya. Manajemen menganggap para garda depan belumlah dapat dipercaya untuk mengambil keputusan yang baik dalam menangani masalah pelanggan.
• Manajemen takut memberdayakan karyawannya, karena mereka takut kalau karyawan diberikan otoritas dan ber’daya’ mengambil keputusan maka peran manajemen di perusahaan akan berkurang bahkan hilang.
• Karyawan takut akan pemberdayaan, menjadi karyawan yang ber’daya’ dan mengambil keputusan itu mengandung resiko. Sehingga mereka takut kalau salah mengambil keputusan yang salah maka mereka akan diberikan sanksi atau malah dipecat dari jabatannya.

Untuk itu perlu kiranya dibangun suatu lingkungan yang mendukung terjadinya pemberdayaan ini. Neville Lake dan Kristin Hickey (2002) menyimpulkan bahwa ada enam hal yang akan menunjang terlaksananya pemberdayaan karyawan dengan baik, yaitu:

a. Strategi pelayanan (service strategic intent) yang jelas/fokus kepada pelanggan.
Sebelum perusahaan meletakkan pemberdayaan sebagai bagian dari strategi pelayanan pelanggan, maka perusahaan harus jelas betul tentang pengalaman (experience) seperti apa yang akan diterima pelanggan dari perusahaan. Perusahaan haruslah mampu merumuskan strategi pelayanannya (SSI – Service Strategic Intent) dengan baik sehingga jelas pelayanan apa yang ingin diberikan kepada pelanggan yang berbeda dengan kompetitor namun masih mampu dilaksanakan ditinjau dari kemampuan dapur perusahaan.

b. Budaya/nilai perusahaan yang mendukung
Perusahaan perlu melakukan pengukuran sejauh mana budaya/nilai perusahaan mampu mendukung pemberdayaan. Hal tersebut bisa dilihat dari dua karakteristik utama yaitu: ketakutan (fear) dan kebebasan (freedom). ‘ketakutan’ (fear) menunjukkan tingkat ketakutan para karyawan untuk melakukan perubahan, mengungkapkan ide, mengambil keputusan yang berbeda dengan manajemen. Sedangkan ‘kebebasan’ (freedom) menunjukkan tingkat kebebasan karyawan yang diberikan oleh manajemen untuk bertanggung jawab, mengungkapkan ide serta mengambil keputusan. Hubungan dua karakteristik ini dapat dilihat dalam fear-freedom culture analysis matrix yang membentuk empat kuadran.


c. Adanya ukuran terhadap kepuasan pelanggan
Pemberdayaan mengandung resiko, seperti: kemungkinan terjadinya ketidak-konsistenan, kecenderungan terjadinya kesalahan atau kemungkinan terjadinya biaya yang muncul. Dan timbal baliknya adalah terjadinya peningkatan kepuasan pelanggan. Untuk itu perusahaan haruslah memiliki ukuran terhadap kepuasan yang baik dan mampu mengukurnya. Karena kalau terjadi ketidak-konsistenan, kesalahan dan biaya namun tidak terjadi peningkatan kepuasan pelanggan – artinya pemberdayaan yang dilakukan belumlah terlaksana dengan baik.

d. Contoh-contoh nyata/hidup dari para atasan
Biasanya kita belajar dari melihat sebelum belajar melakukannya. Untuk itu perlu contoh nyata dari atasan dan meberikan penghargaan bagi karyawan yang telah mengambil keputusan yang baik dalam menangani masalah pelanggan.

e. Orang-orang yang ‘terpanggil’ untuk melayani
Mungkin sebagian besar para garda depan ‘mampu’ melayani, namun rasanya hanya sedikit yang ‘mau’ melayani pelanggan. Tanpa adanya karyawan yang ‘terpanggil’ untuk melayani, pemberdayaan sulit terlaksana. Dan untuk membuat the right people at the right place, haruslah manajemeni dengan baik mulai dari proses seleksi, penempatan, pengembangan sampai evaluasi kinerja karyawan.

f. Pelatihan dan pengembangan yang kontinu
Pelatihan dan pengembangan karyawan perlu dilakukan dengan alasan:
• Adanya gap kompetensi (pengetahuan, keterampilan, dan sikap/perilaku) dalam melayani pelanggan eksternal maupun internal
• Pelaksanaan standar pelayanan yang belum konsisten dan merata
• Perlunya percepatan perubahan yang sifatnya meluas (massive) khususnya dalam melayani pelanggan
Pelatihan dan pengembangan yang dilakukan tentunya tidak sekedar hanya terlaksana sesuai jadwal yang telah ditetapkan namun perlu dievaluasi apakah memang terjadi perubahan perilaku di tempat kerja sampai apakah terjadi dampak terhadap peningkatan kepuasan pelanggan yang akhirnya memberikan keutungan secara finansial kepada perusahaan.

Apabila lingkungan telah mendukung maka akan tercipta kondisi ber’daya’, seperti:
• Karyawan bekerja dalam iklim kerja yang mendorong untuk mengungkapkan masalah secara jujur dan terbuka
• Karyawan tahu kapan dan kepada siapa meminta bantuan
• Karyawan memiliki kewenangan untuk mengambil tindakan segera, bila ada permasalahan pelanggan
• Adanya kriteria untuk memutuskan/meminta bantuan
• Karyawan tidak merasa terancam, bila mengungkapkan masalah/ kesulitan, atau berbuat salah

Ada dua jenis pemberdayaan yang diperkenakan oleh Neville Lake dan Kristin Hickey, yaitu:

a. STRUCTURED EMPOWERMENT
• Aturan dibuat baku untuk berbagai situasi yang berbeda
• Prinsipnya : apa saja alternatif dari perusahaan untuk memuaskan pelanggan?
• Misalnya di sebuah restoran, pelanggan yang kecewa dilayani oleh karyawan dengan memberikan pilihan (yang sudah ditetapkan oleh manajemen restoran) untuk mengobati kekecewaannya seperti: memberikan makanan atau minuman gratis, potongan harga atau voucher untuk kunjungan berikutnya.




b. UNSTRUCTURED EMPOWERMENT
• Karyawan diberikan budget tertentu dan dapat menggunakannya sesuai dengan kebijaksanaannya
• Prinsipnya : apa yang paling tepat dapat saya lakukan/berikan untuk memuaskan pelanggan ?
• Misalkan di restoran yang sama, para karyawan diberikan kebebasan untuk mengambil keputusan apa saja menurutnya yang terbaik untuk mengobati kekecewaan pelanggan dengan batasan sampai senilai satu juta rupiah (manajemen restoran tidak menetapkan kebijakan atau pilihan).

Bentuk pemberdayaan yang akan anda pilih tentunya harus disesuaikan dengan kondisi perusahaan dan strategi pelayanan yang telah ditetapkan oleh perusahaan. Manapun yang dipilih, pastikan bahwa aturan dan kebijakannya harus jelas sehingga tidak membingungkan para garda depan dalam mengambil keputusan terbaik bagi pelanggan. Dan tidak kalah pentingnya adalah usaha perusahaan untuk menciptakan lingkungan yang mendukung terlaksananya pemberdayaan ini dengan baik.


Mahyudanil Lubis

Tidak ada komentar:

Posting Komentar